Jakarta, technology-indonesia.com – Indonesia termasuk kawasan “supermarket bencana”, karena secara geologi dan geografi rentan terhadap bencana alam maupun non alam. Jumlah penduduk yang terpapar dan beresiko menghadapi bencana sangat besar, terutama penduduk yang tinggal di wilayah pesisir. Karena itu perlu upaya pengurangan risiko bencana secara terpadu dan terintegrasi.
Deny Hidayati, Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sekitar 60 persen dari 260 juta penduduk Indonesia atau sekitar 155 juta jiwa tinggal di wilayah pesisir. Sekitar 17 persen atau 44 juta jiwa tinggal di sepanjang pantai.
“Daerah pantai ini rentan terhadap bencana, karena itu kita harus melakukan upaya supaya mengurangi risiko bencana,” kata Deny dalam Workshop “Applying Analytical Framework for Inclusive Policy Design” di Jakarta, Senin (28/8/2017).
Workshop ini diselenggarakan oleh Komite Nasional MOST Indonesia di bawah Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) LIPI bekerjasama dengan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Workshop bertujuan mengoptimalkan hasil-hasil riset terkait pengurangan resiko bencana dan perlindungan sosial agar dapat digunakan sebagai landasan penyusunan kebijakan publik secara inklusif, termasuk kelompok rentan, penyandang disabilitas dan masyarakat miskin.
Menurut Deny, pengurangan risiko bencana atau Disaster Risk Reduction (DRR) merupakan semua upaya untuk mengurasi risiko dari bencana yang terjadi. Upaya tersebut bisa termasuk kebijakan, program maupun kegiatan untuk mengurangi risiko bencana.
Sayangnya upaya ini belum terpadu dan terintegrasi, masing-masing instansi memiliki aturan sendiri-sendiri. Misalnya terkait penanggulangan bencana di bawah kewenangan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), perlindungan sosial di Kementerian Sosial, dan adaptasi perubahan iklim di Kementerian Lingkungan dan perlindungan sosial ada di Kemensos, adaptasi perubahan iklim ada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Bagaimana semua itu kita integrasikan ke dalam satu kesatuan menyeluruh yang inklusif. Tidak hanya untuk kelompok tertentu, tetapi termasuk kelompok yang paling rentan, marjinal, dan kelompok yang punya kepentingan khusus. Salah satunya melalui perangkat Analytical Framework for Policy Design yang telah dikembangkan UNESCO,” ucapnya.
Arief Rahman, Ketua Harian Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) mengatakan workshop ini merupakan suatu upaya mengoptimalkan hasil-hasil riset yang bisa mempengaruhi kebijakan dalam masalah manajemen transformasi sosial.
“Workshop ini ingin menerapkan suatu bentuk atau kerangka analisa bagaimana sebetulnya kebijakan-kebijakan inklusivitas harus dikembangkan di Indonesia,” lanjutnya.
Arief mencontohkan beberapa hal yang tidak inklusif atau diskriminatif. Misalnya di sektor tranportasi yang belum ramah terhadap penyandang disabilitas. Penyediaan tempat ibadah tidak memperhitungkan kalau perempuan perlu tempat ganti pakaian. Sebagai guru, Arief melihat sekolah juga harus inklusif, tidak boleh sekolah hanya untuk orang pintar semua.
“Dalam pembinaan sosial dan pendidikan, saya pikir apa yang dikembangkan secara merata belum terjadi. Karena itu harus ada analisa kebijakan. Yang paling penting management of social transformation sangat diperlukan,” pungkasnya.
Â