Guru Besar Hidrologi Institut Teknologi Bandung Indratmo Soekarno, mengatakan Lapisan atas tanah Jakarta terendapi sedimen yang butirannya jauh lebih halus. Sehingga air kian sulit terserap tanah, kekedapannya meningkat terus. Kondisi ini diperparah masifnya penutupan lahan terbuka oleh gedung dan jalan. Kawasan area resapan dijadikan bangunan.
”Lahan 1 hektar yang tertutup beton dengan curah hujan 100 mm seperti kemarin bisa menghasilkan volume air permukaan 1.000 kubik,” katanya.
Menurut Indratmo, penanganan banjir di Jakarta dalam jangka panjang tak cukup mengandalkan kanal atau saluran air karena air relatif sulit mengalir ke laut dengan gaya gravitasi. ”Solusi deep tunnel perlu dipikir lebih matang. Apakah tepat?” katanya.
Indratmo juga mengingatkan, banjir di Jakarta tak bisa diatasi Pemerintah DKI sendiri. Sebagian besar banjir Jakarta disebabkan kiriman dari hulu. ”Pernah ada rencana pembuatan waduk di hulu, salah satunya Waduk Ciawi berkapasitas 30 juta kubik. Harus direalisasikan,” katanya.
Sementara Ahli geoteknologi LIPI, Jan Sopaheluwakan, menyebutkan, daratan Jakarta berupa cekungan terus turun dengan laju 4-20 sentimeter per tahun. Sebaliknya, Teluk Jakarta—muara 13 sungai—mengalami pengangkatan. Air dari sungai-sungai yang melalui Jakarta dan bermuara di Teluk Jakarta cenderung balik ke dataran rendah kota.
Sebagai daerah cekungan, yang 40 persen dari 650 kilometer persegi luas wilayahnya lebih rendah dari laut, mau tak mau Jakarta memperbanyak resapan.