Menjelang akhir Maret 2015, para ilmuwan meributkan soal etika dan keamanan mengedit DNA embrio manusia. Aliansi untuk Kedokteran Regeneratif (ARM) mendesak adanya moratorum riset modifikasi genom. Untuk alasan keamanan dan etika, para ilmuwan dihimbau untuk menghentikan mengedit DNA embrio manusia untuk alasan apa pun.
Di tengah rumor bahwa teknik gen-editing telah mampu digunakan untuk memodifikasi DNA embrio manusia secara tepat (presisi), para peneliti telah menyerukan moratorium penggunaan teknologi dalam sel reproduksi manusia.
Dalam Komentar yang diterbitkan jurnalNature tebaru, Edward Lanphier, ketua Aliance for Regenerative Medicine (ARM) di Washington DC, mengimbau para ilmuwan untuk sepakat untuk tidak mengubah embrio manusia – bahkan untuk sekadar penelitian sekalipun.
Jika dibiarkan, dia khawatir penelitian tersebut dapat dimanfaatkan untuk tujuan modifikasi non-terapi. Dia mengaku prihatin jika sampai ada peneliti yang nekad melakukan manipulasi gen pada manusia. Hal senada disampaikan Fyodor Urnov, pelopor dalam teknik gen-editing dan ilmuwan di Sangamo BioSciences di Richmond, California.
Lanphier dkk menduga banyak kelompok, termasuk perusahaan Urnov itu, sudah menggunakan alat gen-editing untuk mengembangkan teknik terapi untuk memperbaiki cacat genetik pada manusia (seperti dengan mengedit sel darah putih). Mereka takut bahwa upaya untuk mendesain DNA embrio manusia bisa menimbulkan masalah etika dan direaksi negatif oleh publi.
Dikenal sebagai modifikasi germline, suntingan terhadap DNA telur, sperma atau bahkan embrio, memungkinkan bayi yang dilahirkan dapat mengalami make up genetik tanpa persetujuan, dan akan secara permanen mewariskan perubahan karakter kepada generasi mendatang.
“Kita perlu berhenti mencoba-cpoba melakukan editing germline pada embrio manusia,” ucap Lanphier kepada Nature.
Merespon sikap ARM, sejumlah ilmuwan lainnya keberatan. Meskipun diakui masih perlu ada diskusi luas menyangkut soal keamanan dan etika mengedit embrio dan sel-sel reproduksi, mereka mengatakan, riset gen-editing diperlukan untuk mengatasi atau menghindari munculnya potensi penyakit genetik warisan.
Untuk diketahui, ahli Genetika Xingxu Huang dari ShanghaiTech University di Cina, kini sedang mengajukan izin kepada komite etika untuk riset memodifikasi DNA embrio manusia. Pada bulan Februari 2014, ia melaporkan telah menggunakan teknik gen-editing untuk memodifikasi embrio kera. Kera hasil modifikasi pun telah hidup normal. Keberhasiolan menghilangkan penyait genetik pada kera berpotensi untuk dicoba pada embrio manusia. ‘’Meski sulit diizinkan secara etika, riset modifikasi atau editing DNA pada embrio manusia bisa menjadi solusi untuk mengatasi masalah penyakit-penyakit warisan yang selama ini belum teratasi,’’ dalihnya.
Selain Huang, teknik gen-editing juga digunakan oleh Juan Carlos Izpisua Belmonte, seorang ahli biologi perkembangan di Salk Institute for Biology Studyi di La Jolla, California, untuk menghilangkan penyakit akibat mutasi pada mitokondria. Tim Belmonte sedang mengembangkan teknik menghilangkan pengaruh gen pemicu penyakit warisan yang melekat pada mitokondria sel telur. Jika berhasil, teknik gen-editing ini dapat digunakan untuk memperbaiki prosedur bayu tabung atau proses fertilisasi in vitro (IVF). Dengan demikian, bayi-bayi tabung diharapkan steril dari penyakit turunan.
Ada juga kecurigaan bahwa para ilmuwan sebenarnya telah membuat embrio manusia dengan genom yang sudah diedit. Beberapa peneliti yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan kepada tim Nature bahwa makalah yang menjelaskan pekerjaan tersebut sedang dipertimbangkan untuk publikasi.
Para ilmuwan yang hadir dalam pertemuan membahas germline gen-editing di Napa, California, pada Januari lalu telah merumuskan sebuah perspektif tentang keprihatinan mereka untuk publikasi di jurnal Science. Pakar Genetika Dana Carroll dari University of Utah di Salt Lake City, pada pertemuan Napa, mengatakan bahwa beberapa pihak terkait kana akan mendiskusikan soal keamanan dan etika menggunakan teknik editing pada embrio manusia.
“Perubahan genom yang permanen dan diwariskan tentu berdampak. Maka, untuk aplikasinya perlu pertimbangan yang sangat, sangat berhati-hati. Tidak boleh sembarangan,” tegasnya Carroll.
Menurut Tetsuya Ishii, seorang bioetika di Hokkaido University di Sapporo, Jepang, teknik gen-editing sudah dilarang oleh hukum di banyak negara. Dia menemukan bahwa dari 29 dari 39 negara maju telah memiliki hukum atau pedoman yang melarang praktek modifikasi genom.
Namun begitu, tambah Ishii, perkembangan teknik gen-editing yang tepat dalam beberapa tahun terakhir telah membawa urgensi segar untuk masalah ini. Teknik ini menggunakan enzim nucleases untuk memotong DNA pada titik-titik tertentu dan kemudian menghapus atau menulis ulang informasi genetik di lokasi tersebut. Metode yang cukup sederhana untuk digunakan di klinik kesuburan, menimbulkan kekhawatiran bahwa mereka mungkin diterapkan pada manusia sebelum masalah keamanan tuntas ditangani.
Kekhawatiran muncul oleh karena nucleases dapat menyebabkan mutasi di lokasi lain, yang di luar target. Guanghui Liu, seorang peneliti sel induk di Chinese Academy of Sciences Institute of Biophysics di Beijing, telah berkolaborasi dalam sebuah studi yang menunjukkan bahwa memodifikasi satu gen dalam sel induk mengakibatkan mutasi minimal di tempat lain, sekalipun ia memperingatkan bahwa ini hanya satu kasus.
Oleh karena itu, setiap aplikasi untuk menggunakan teknologi gen-editing untuk terapi harus divalidasi secara independen sebagai aman dan efektif, kata Jennifer Doudna, seorang ahli biokimia di University of California, Berkeley. “Ini akan diperlukan untuk memutuskan, untuk setiap aplikasi potensial, apakah risiko lebih besar daripada manfaatnya bagi pasien. Saya pikir penilaian ini harus dilakukan pada kasus-per kasus, “katanya.
Ishii mewaspadai negara-negara seperti Amerika Serikat. Di AS, editing germline tidak dilarang, asal atas persetujuan pemerintah. Ia juga prihatin tentang Cina, yang legal-formalnya melarang gen-editing pada embrio, tetapi tidak benar-benar menegakkan aturan yang sama. Contpohnya, kegagalan dalam mengekang penggunaan USG untuk pemilihan jenis kelamin dan untuk membasmi klinik sel induk yang iegal. China juga ditengarai telah banyak melakukan teknik gen-editing pada beberapa primata.