Jakarta, technology-indonesia.com – Tol laut merupakan salah satu program prioritas Presiden Jokowi untuk mengembangkan sektor kemaritiman. Setelah dua tahun berjalan, sejauh manakah efektivitas tol laut?
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) telah melakukan kajian efektivitas dan implementasi tol laut bagi pertumbuhan ekonomi. Hasil kajian disampaikan oleh peneliti P23 LIPI dalam Media Briefing “Peran Infrastruktur Ekonomi Dalam Industri Maritim Nasional” di Media Center LIPI, Jakarta, Jum’at (25/8/2017).
Latif Adam peneliti P2E LIPI yang bertindak sebagai moderator mengatakan sejak awal program tol laut yang fenomenal telah menjadi pro kontra di tengah masyarakat. Pemerintah membutuhkan dana sekitar 700 triliun untuk membangun infrastruktur seperti pembangunan 24 pelabuhan tol strategis, pembangunan galangan kapal, dan lain-lain.
Panky Tri Febiyansah, Peneliti P2E LIPI memaparkan konsep tol laut adalah membangun transportasi laut dengan kapal atau sistem logistik kelautan, yang melayani tanpa henti dari Sabang hingga Merauke. Strategi pengembangan tol laut didukung oleh berbagai macam paket kebijakan ekonomi, seperti Paket Stimulus No. 15 yang memfokuskan perbaikan sistem logistik.
“Integrasi ekonomi melalui penguatan konektivitas antar pulau dan domestik-internasional merupakan sebuah kebutuhan bagi negara kepulauan seperti Indonesia. Hal ini bertujuan untuk mempercepat pembangunan dan memeratakan hasil-hasilnya ke seluruh pelosok negeri,” ungkapnya.
Panky memaparkan konsep tol laut membutuhkan variasi dan kecukupan muatan baik dari barat ke timur maupun dari timur ke barat, infrastruktur pelabuhan yang handal, industri pelayaran yang mapan, pelayaran rutin dan terjadwal, serta infrastruktur daratan yang memadai.
Pembangunan infrastruktur maritim memiliki peran yang krusial. Infrastruktur mempengaruhi biaya operasi, kualitas layanan, serta kecepatan dan ketepatan pengiriman. Pada gilirannya, peran yang dijalankan infrastruktur akan menjadi faktor pembentuk harga akhir produk.
“Apabila infrastruktur belum mampu menjalankan perannya secara optimal, maka ini akan mendorong tidak saja biaya transportasi, tetapi juga menyebabkan munculnya disparitas harga dan ketidakseimbangan pembangunan ekonomi antar wilayah,” terang Panky.
Dalam kesempatan tersebut, Panky menyampaikan temuan sementara yang memperlihatkan bahwa dimensi perspektif atas tol laut yang dipahami selama ini adalah port to port. Hal ini menyebabkan masih adanya disparitas harga terutama di daerah pedalaman dan pulau-pulau terpencil. “Kalau konsepnya port to port maka yang merasakan manfaat adalah masyarakat sekitar pelabuhan saja,” tegasnya.
Panky juga memaparkan sejauh mana integrasi tol laut dengan sistem logistik nasional. Menurutnya konektivitas yang efektif dan efisien dapat tercapai jika sektor transportasi maritim terintegrasi dan menjadi bagian penting dari kerangka sistem logistik nasional.
Dari hasil kajian, Panky menyampaikan rekomendasi sementara antara lain dimensi perspektif atas tol laut seharusnya mulai diperluas menjadi door – port to port – door sehingga terjadi pemerataan ekonomi di seluruh wilayah Indonesia.
Rekomendasi selanjutnya, pada pulau-pulau utama perlu adanya pembangunan jalan desa dengan melakukan optimalisasi dana desa untuk pengembangan dan peningkatan kualitas jalan. “Syaratnya harus terintegrasi dengan sistem logistik nasional atau konsep tol laut,” lanjutnya.
Selain itu diperlukan juga peningkatan keahlian pekerja dan pelaku usaha Industri logistik. Keahlian ini perlu dimasukkan dalam kurikulum dalam pendidikan vokasi atau melalui pelatihan di LSP yang fokus pada sistem logistik.
Untuk menyentuh wilayah pulau-pulau kecil, Panky berpendapat perlunya memberdayakan pelayaran rakyat sebagai saluran arteri ke pulau-pulau kecil dan alternatif pelayaran perintis. Untuk itu, diperlukan subsidi asuransi kapal agar pemilik kapal mampu mengembangkan usahanya.
“Pelayaran rakyat perlu didorong karena potensial untuk menyerap tenaga kerja dan membantu mengurangi disparitas harga,” pungkasnya.