Jakarta, Technology-Indonesia.com – Staf Ahli Menteri Bidang Infrastruktur Pertanian, Dedi Nursyamsi mengatakan bencana likuifaksi yang terjadi di Palu dan Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng) bersamaan dengan gempa berkekuatan 7,7 SR pada 28 September 2018 sebenarnya tidak menyebabkan lahan lenyap atau hilang. Likuifaksi menyebabkan lahan sawah bergeser dan atau berubah bentuk.
“Relief mikronya menjadi bergelombang lalu ada sebagian bahan tanah baru muncul karena sebagian tanah lama bergerak ke kiri, kanan, depan belakang, atau ke bawah,” ungkap Dedi dalam Focus Group Discussion “Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian Akibat Gempa, Tsunami, dan Likuifaksi di Palu, Sigi, dan Donggala” di kantor Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulteng pada Rabu (6/3/2019).
Likuifaksi atau banyak yang menyebut sebagai ‘tanah bergerak’ seperti bahan likuid merupakan fenomena dimana tanah (padat) menjadi seperti lumpur (cair) karena lepasnya ikatan antar partikel tanah akibat guncangan yang sangat kuat dari gempa dan kondisi jenuh air.
Lebih lanjut Dedi mengungkapkan, likuifaksi ini membuat tata guna lahan berubah, banyak lahan sawah yang tidak bisa disawahkan lagi atau berubah menjadi lahan kering. Tentu saja hal ini akan mengakibatkan perubahan pengelolaan lahan pula, seperti penetapan komoditas yang ditanam, pengelolaan air irigasi, dan lain-lain.
Tim Survei Badan Litbang Pertanian melaporkan bahwa bencana gempa dan likuifaksi menyebabkan pemukiman, perkantoran, jalan menjadi “tenggelam”. Lahan pertanian juga mengalami kerusakan, bahkan diantaranya ada yang parah.
Fenomena likuifaksi di Palu dan Sigi menyebabkan perubahan bentuk permukaan lahan, tidak dikenali lagi bentuk lahan asli karena pergerakan masa tanah ke berbagai arah bahkan ada bahan tanah yang hilang tertelan bumi dan ada pula bahan tanah baru berupa lumpur yang saat ini sudah kering.
Peneliti Badan Litbang Pertanian, Anny Mulyani mengatakan berdasarkan citra landsat spot 6, fenomena likuifaksi terjadi di Balaroa dan Petobo (Kota Palu) serta Jono Oge dan Sibalaya (Sigi). Secara keseluruhan lahan yang mengalami likuifaksi parah di Petobo sekitar 180 hektare (ha), dimana 14,5 ha diantaranya sawah. Demikian pula di Jono Oge ada sekitar 204 ha mengalami likuifaksi dimana sekitar 106 ha berupa lahan sawah. (Estiyanto Nugroho/Balitbangtan).