
Jakarta, Technology-Indonesia.com – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai perkembangan besaran subsidi LPG (Liquefied Petroleum Gas) 3 Kg berada dalam kondisi tidak sehat. Konversi minyak tanah ke LPG yang sebelumnya memberikan penghematan anggaran, telah bergeser menjadi beban. Besaran subsidi LPG 3 Kg sudah melebihi besar subsidi minyak tanah sebelum program konversi ini berjalan.
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) LIPI Maxensius Tri Sambodo mengatakan besaran subsidi LPG 3 Kg semakin bertambah karena pengguna LPG 3 Kg meningkat. “Penggunanya bukan hanya masyarakat kelas bawah, tetapi juga menengah ke atas,” kata Maxensius dalam Media Briefing “Subsidi LPG 3 Kg, Mau Dibawa Kemana?” di Balai Kartini, Jakarta, pada Selasa (24/10/2017).
Data hasil penelitian P3E-LIPI menunjukkan jumlah rumah tangga pengguna LPG bersubsidi naik dari tahun 2015 sebanyak 41,58 juta menjadi 45,37 juta pada 2016. Para pengguna ini tidak semuanya layak menggunakan LPG 3 Kg bersubsidi.
Maxensius melihat persoalan utama bukan semata kurangnya kesadaran masyarakat, tetapi juga dari segi industri. Distribusi dan ketersediaan LPG 5,5 Kg non subsidi yang masih terbatas dan belum merata. Keterbatasan ini menjadi salah satu penyebab pengguna yang ingin memakai LPG 5,5 Kg beralih ke LPG 3 Kg.
Di tengah pentingnya upaya melakukan pengendalian subsidi LPG 3 Kg, pemerintah justru menjalankan program konversi kapal bensin ke LPG 3 Kg bagi nelayan kecil. Kebijakan ini membuka celah untuk pertumbuhan konsumsi LPG yang lebih cepat lagi di masa depan.
“Posisi pemerintah yang berada di persimpangan jalan, antara mencabut subsidi LPG dan membuka ruang subsidi baru, memperlihatkan sikap yang tidak konsisten terhadap UU No 30 Tahun 2007 tentang Energi,” kata Maxensius.
Menurutnya, kebijakan subsidi ini bukan berarti tanpa biaya. Di samping bertambahnya beban negara, subsidi LPG juga rawan penyalahgunaan, membuka celah ketimpangan, dan hilangnya kesempatan untuk memanfaatan sumber energi bagi penggunaan lainnya yang dapat memberikan nilai tambah lebih besar bagi negara.
Pada sisi lainnya, keputusan untuk menghapus subsidi LPG 3 Kg bukanlah hal yang mudah. Dampak sosial dan ekonomi perlu diperhatikan dan dikalkulasi secara mendalam. Studi yang dilakukan oleh LIPI dengan lokus pada kelompok nelayan kecil, memberikan banyak gagasan akan hal-hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk mengendalikan gejolak atas kenaikan harga LPG.
Penelitian P3E-LIPI dilakukan pada nelayan di Bali (Karang Asem dan Kabu) dan Jawa Timur (Gresik dan Kebomas) yang mendapatkan paket perdana LPG sepanjang 2016-2017 dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sepanjang dua tahun tersebut, Kementerian ESDM telah mendistribuskan 5.473 paket ke lima provinsi seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.
Hasil penelitian Tim P3E LIPI menyebutkan, Paket LPG tersebut telah memberikan keuntungan yang besar bagi nelayan. Nelayan bisa menghemat 60% lebih per pelayarannya.
Dalam kesempatan tersebut, Maxensius menyarankan agar paradigma yang harus dibangun dalam mengelola subsidi adalah berbasis lokalitas. Namun, terlebih dahulu harus dipastikan tata niaganya sudah benar.
“Efisiensi tata niaga harus dibenahi sehingga harga di tingkat pengecer dalam margin yang wajar. Ketika efisiensi harga tata niaganya belum dibenahi dan harga sudah naik, itu akan menjadi dua pukulan,” lanjutnya.
Menurut Maxensius, kenaikan harga harus berbasis pada lokalitas. Pemerintah harus sensitif terhadap tantangan dan kondisi masing-masing daerah yang berbeda. Tidak bisa dipukul rata naik misalnya seribu rupiah per kilogram.
“Gagasan di tingkat pulau akan lebih enak melakukan diskriminasi kebijakan LPG merujuk pada lokalitas yang ada. Karena di tingkat pulau akan mudah melakukan pengawasan barang yang masuk dan keluar. Kalau sifatnya provinsi, kebocorannya akan tinggi,” terangnya.
Kalau lintas pulau, lanjut Maxensius, disparitas harga akan jauh lebih mudah. Misalkan di Bali, rata-rata nelayan memerlukan sekitar 15 tabung untuk melaut, karena kondisi ombaknya rata-rata sangat tinggi sehingga membutuhkan tenaga lebih tinggi. Sementara, untuk nelayan di Gresik sekitar 10 tabung saja karena kondisi ombaknya berbeda.
Jadi diskriminasi harga tidak hanya di tingkat pulau, tetapi juga ada quota nelayan. Kebijakan subsidi ketika dipukul rata menjadi tidak efisien dan tidak berkeadilan.
“Kita juga bisa optimalkan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID). TPID perlu lebih sensitif membaca peta ini. Ketika LPG naik maka dampak inflasinya akan tinggi, di sini peran TPID untuk mengantisipasi. Apa yang perlu dilakukan, ketika elpiji dampak inflasinya lebih minimal,” katanya.
Mengenai pencabutan subsidi LPG 3 Kg, Maxensius menyarankan kepada pemerintah untuk lebih cermat dalam pengambilan keputusan. Pencabutan subsidi LPG 3 Kg bukan keputusan populer bagi pemerintah yang sedang memasuki tahun-tahun politik.