TMC Menjadi Tumpuan Ketika Riau Membara

Jakarta – Kebakaran hutan dan lahan di provinsi Riau kembali terjadi. Data Satgas BPBD Riau pada 26 Februari mencantumkan luas kebakaran hutan dan lahan telah mencapai 1.178,41 hektar.  Yaitu Rokan Hilir (Rohil) 144 hektare,  Dumai  65,5 hektare, Bengkalis: 837 hektare, Meranti 20,4 hektare, Siak 30 hektare, Pekanbaru 21,51 hektar, Kampar 19 hektare, Pelalawan 3 hektare serta Indragiri Hilir (Inhil) mencapai 38 hektare

Pemerintah segera tetapkan status siaga darurat penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan mulai 19 Februari hingga 31 Oktober 2019. Tidak hanya persoalan kebakaran hutan, tetapi juga ancaman bencana kabut asap yang kerap melanda wilayah ini bahkan hingga negara-negara tetangga.

Penanganan karhutla dilakukan dengan pemadaman darat dan udara. Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan kerahkan 14 regu (210 personel Manggala Agni). Pun, pemadaman melalui udara ditugaskan pada Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BBTMC-BPPT).

BB-TMC BPPT kerahkan tim sejak 26 Februari 2019 untuk menanggulangi bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di wilayah provinsi Riau atas permintaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

 “Beberapa parameter seperti curah hujan, jumlah titik api, hingga tingkat kebasahan lahan menjadi acuan kami.  Kegiatan TMC akan selesai jika kondisi  parameter tersebut dinilai aman,”  ujar Tri Handoko Seto, Kepala BBTMC di Jakarta, Kamis (28/3/2019)

Tri Handoko Seto menjelaskan, Riau termasuk wilayah yang secara historis rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan.  Titik-titik rawan di sepanjang pesisir timur seperti Kab. Rokan Hilir, Bengkalis, Siak, Pelalawan, Indragiri Hilir, Kep. Meranti dan Kota Dumai. “Pada beberapa hari belakangan, kondisi titik api juga lebih banyak terkonsentrasi di wilayah-wilayah tersebut,” ungkapnya.  

Data BB-TMC pada 24-27 Maret, jumlah titik api dengan tingkat kepercayaan di atas 80 persen lebih banyak terdeteksi di Kab. Kepulauan Meranti, Kota Dumai dan Kabupaten Bengkalis

Sutrisno, Kepala Bidang Pelayanan Teknologi BB-TMC, mengatakan metode TMC untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan yaitu melakukan penyemaian awan untuk memaksimalkan pembasahan lahan di wilayah target.

“Bahan semai berupa garam higroskopis yang disebar ke dalam awan akan mempercepat proses fisis awan sehingga dapat memaksimalkan potensi awan yang ada menjadi hujan. Selain  membantu pemadaman titik api, juga menjaga tingkat kebasahan lahan sehingga menekan potensi kemunculan titik api baru maupun penyebarannya,” paparnya.

Setiap penerbangan untuk pelaksanaan TMC, lanjut Sutrisno, mengacu pada beberapa parameter atmosfer. “Penerbangan penyemaian awan akan dilakukan dengan prioritas pembasahan lahan di wilayah yang terdeteksi konsentrasi titik api. Selain itu, pertimbangan keberadaan awan potensial juga menjadi syarat penyemaian awan,” ujarnya.

Hingga 26 Maret 2019, penerbangan TMC untuk penyemaian awan di Provinsi Riau sudah dilaksanakan sebanyak 36 penerbangan dengan menghabiskan 28,4 ton bahan semai.

Gambar 1. Pantauan titik api 24-27 Maret 2019.
(Sumber: Katalog Hotspot LAPAN, MODIS SNPP dengan Confidence Level ≥ 80)

Selama 26 Februari-26 Maret 2019, jumlah volume air hujan yang dihasilkan melalui kegiatan TMC yaitu berkisar 102 juta m3. “Salah satu indikator keberhasilan TMC yaitu jumlah titik api yang dapat ditekan pertumbuhannya. Data 27 Maret 2019, hanya terdeteksi 1 titik api di provinsi Riau yaitu di Kab. Bengkali,” kata Sutrisno.

Teknologi modifikasi cuaca  menjadi tumpuan harapan penanggulangan kebakaran hutan secara responsif dan masif. Sutrisno mengatakan tidak butuh waktu lama untuk persiapan terjun di wilayah-wilayah bencana. “Kami dapat bekerja cepat minimal dua hari untuk persiapan ke wilayah-wilayah terdekat,” ujarnya.

You May Also Like

More From Author