Ini Manfaat EAR untuk Riset Iklim dan Kebencanaan

Technology-Indonesia.com – Penelitian terkait Equatorial Atmosphere Radar (EAR) akan memberikan pengetahuan tentang dinamika atmosfer di Benua Maritim Indonesia (BMI). Riset terkait EAR diharapkan akan memberikan pemahaman iklim di Negara kita sehingga bisa bersikap adaptif terhadap perubahan iklim.

Kepala Organisasi Riset Kebumian dan Maritim (ORKM), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ocky Karna Radjasa menyampaikan hal tersebut dalam Equatorial Atmosphere Radar Symposium 2023 bertajuk “Kontribusi EAR untuk Riset Kolaboratif Perubahan Iklim dan Kebencanaan di Benua Maritim Indonesia,” pada Selasa (8/8/2023).

Simposium tersebut digelar ORKM BRIN melalui Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA) bersama RISH Kyoto University. Ocky yakin bahwa melalui webinar ini akan terjadi desiminasi terhadap bidang riset yang sedang dilakukan para periset PRIMA dan koleganya.

“Dan saya berharap betul kegiatan ini yang akan secara rutin bisa dilaksanakan. Semoga bisa memberikan kemajuan yang sangat berarti kepada ilmu pengetahuan iklim dan atmosfer di dunia,” tutur Ocky.

Kepala Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, Albertus Sulaiman menyampaikan bahwa terinstalnya EAR di Indonesia sebagai satu-satunya radar equator di dunia telah memberikan pengetahuan sejak awal berdiri.

“Dalam kurun waktu 20 tahun ini terdapat perkembangan ilmu dan pengetahuan telah terjadi salah satunya di negeri ini terinstalnya EAR sebagai satu-satunya radar ekuator di dunia,” jelas Sulaiman.

Melalui simposium ini, lanjut Sulaiman akan diketahui tentang EAR. Misalnya bagaimana dinamika atmosfer bisa dipelajari dengan EAR, bagaimana mesosfer dynamic bisa dipelajari dengan EAR, atau bagaimana EAR itu bisa mendeteksi turbulen yang ada di lapisan trophosfer.

Perekayasa Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, Halimurrahman menyampaikan bahwa EAR dirancang karena permukaan yang paling banyak menerima energi matahari itu adalah wilayah ekuator. Uniknya, Benua Maritim Indonesia adalah kombinasi laut dan darat cukup berimbang.

“Kita tahu bahwa air bisa menyimpan energi dan observasi di ekuator itu sangat minim. Itu yang menjadi motivasi besarnya terinstalnya EAR. Kototabang di pilih untuk pembangunan EAR dengan proyek awal yaitu Coupling Processes in the Equatorial Atmosphere (CPEA) oleh RISH KYOTO pada tahun 2001,” papar Halim.

EAR memiliki spesifikasi dengan berbasis radio, menurutnya. Selain terdiri dari 560 antena Yagi, dengan antenna system berdiameter 110 meter dan dengan frekuensi 47.0 MHz telah banyak kegiatan-kegiatan riset yang sudah dilakukan terkait dalam kurun waktu 20 tahun.

Kegiatan riset dapat dikelompokkan menjadi EAR and the MU radar collaborative program, RASS experiment of atmospheric temperature, Atmospheric dynamic various atmospheric waves and turbulence, Development of Equatorial MU radar (EMN), Database management and assimilation data.

Hal senada disampaikan Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, Didi Satiadi. Dia menegaskan secara ilmiah mengenai dinamika atmosfer di wilayah ekuator memang tergolong cukup unik karena di daerah ekuator menerima energi yang sangat besar dari energi matahari sehingga mendorong konveksi yang aktif pembentukan awan dan hujan di wilayah Indonesia yang cukup terbesar di dunia. “Kemudian pelepasan panas laten itu menggerakan sirkulasi atmosfer global,” katanya.

Menurut Didi, curah hujan di ekuator cukup tinggi, tapi di Indonesia lebih tinggi karena selain di ekuator, BMI merupakan kepulauan yang dikelilingi lautan itu seolah-olah menggandakan aktivitas konveksi.

“Karena pada siang hari pulau-pulau ini bertindak sebagai hotspot yang mendorong konveksi, sedangkan pada malam hari lautnya yang lebih panas juga mendorong konveksi sehingga seolah-olah adanya doubling untuk konveksi,” tuturnya.

Topografi Indonesia yang cukup unik, kata Didi pegunungan yang lancip mendorong pengangkatan massa udara ke atas dan dinamika atmosfer di wilayah BMI terutama di atur oleh gaya-gaya signifikan yaitu gravitasi dan bouyanye sehingga didominasi oleh semacam interaksi antara gelombang dan konveksi.

Keberadaan EAR dan juga berbagai instrument lainnya menurut Didi merupakan peralatan yang cukup powerful untuk mempelajari konveksi gelombang interaksi juga kopling dinamika dan elektrodinamika di wilayah ekuator.

“Sejak 2001, EAR sudah meningkatkan pemahaman mengenai dinamika atmosfer dan proses kopling di wilayah ekuator dan pengembangan MU radar ini lebih meningkatkan lagi pengetahuan tentang sistem Bumi-Matahari dan juga penelitian mengenai perubahan iklim dan iklim ektrem,” tutupnya. (Sumber brin.go.id)

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author