Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) sedang menyusun konsep Indeks Daya Saing Daerah sebagai alat menilai keberhasilan suatu daerah. Indeks daya saing di daerah akan menjadi cerminan tingkat produktivitas, kemajuan, persaingan dan kemandirian suatu daerah.
Hal tersebut disampaikan Direktur Sistem Inovasi Kemenristekdikti, Ophirtus Sumule dalam Workshop Sistem Inovasi Daerah dengan tema “Mendorong Daya Saing Melalui Peningkatan Inovasi Teknologi,” di Gedung II BPPT, Jakarta, pada Selasa (29/11/2016).
Berbagai indikator menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain dalam persaingan global. Global Competitiveness Index, ICT Development Index, E-Readiness, Network Readiness Index, dan Human Development Index merupakan indikator yang sering digunakan untuk mengukur sejauh mana posisi sebuah negara dalam lingkungan dan persaingan global.
Ophirtus mengatakan fenomena tersebut menjadi tantangan besar bagi Indonesia di masa yang akan datang, terutama dikaitkan dengan strategi, baik di tingkat nasional mapupun di tingkat daerah kabupaten/Kota, untuk meningkatkan daya saing dan kesejahteraan rakyatnya.
Pengukuran Indeks Daya Saing Daerah diharapkan menjadi kebijakan nasional yang mendorong sinergi program antarsektor untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kepemimpinan daerah yang inovatif. “Indeks dan peringkat daya saing daerah secara nasional bisa dipakai pemerintah untuk mengukur intervensi yang harus dilakukan terhadap daerah,” ujar Ophirthus.
Ophirtus memaparkan bencmarking (tolok ukur) Indeks Daya Saing Daerah berasal dari berbagai model indeks yang sudah ada yaitu Global Competitiveness Index (GCI), Global Innovation Index (GII), Peraturan Bersama antara Menristek dengan Mendagri tentang SIDa, Indeks Inovasi LAN, Indeks Government Award Kemendagri dan lain-lain.
Nantinya ada 12 pilar yang akan dipakai untuk menilai Indeks Daya Saing Daerah yakni kelembagaan; infrastruktur; ekonomi dan regulasi; kesehatan; SDM, pendidikan dan pelatihan; efisiensi pemasaran produk; ketenagakerjaan, akses finansial; tingkat kesiapan teknologi; ukuran pasar; kecanggihan bisnis; dan inovasi. Pilar tersebut dibagi dalam tiga kelompok yaitu persyaratan dasar, pendukung efisiensi, serta inovasi dan kecanggihan bisnis.
“Dari pertemuan ini akan segera ditindaklanjuti dengan mengumpulkan semua indeks dan sinkronisasikan dan harmonisasikan atribut-atributnya. Nanti data daya saing tiap daerah akan dimasukkan dalam ‘big data’ nasional,” katanya.
Ophirtus berharap nantinya Indeks Daya Saing Daerah ini memiliki payung hukum misalnya Peraturan Presiden (Perpres). “Rancangan Indeks Daya Saing Daerah akan kita selesaikan tahun 2017. Nanti akan disosialisasikan bagaimana daerah mengisi data. Siapa yang bisa melakukan itu apakah BPS, Kemenristekdikti atau Kemendagri,” pungkasnya
Direktur Pusat Teknologi Inovasi Daerah BPPT Atang Sulaeman mengatakan BPPT mendukung penyusunan Indeks Daya Saing Daerah. “Tujuannya adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan melalui daya saing. Dalam konteks inovasi daerah bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan daya saing di daerah,” ujarnya seusai workshop.
Menurut Atang, secara yuridis sistem inovasi sudah ada sejak 2007, tetapi ditegaskan lagi oleh Presiden Joko Widodo melalui Nawacita ke tujuh yaitu bagaimana mengimplementasikan teknologi melalui pendekatan penguatan sistem inovasi nasional. Sistem Inovasi Daerah merupakan bagian dari Sistem Inovasi Nasional, lanjutnya.
“Nanti yang akan digagas Kemenristekdikti adalah bagaimana supaya indeks ini diterapkan di seluruh daerah. Sehingga antar daerah bisa dibandingkan secara obyektif mana yang paling berdaya saing,” pungkasnya.