TechnologyIndonesia.id – Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Antariksa, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Thomas Djamaluddin memprakirakan 1 Ramadan 1445 Hijriah jatuh pada Selasa, 12 Maret 2024. Sementara, 1 Syawal 1445 Hijriah jatuh pada 10 April 2024.
Hal tersebut berdasarkan kriteria baru yang mengacu pada hasil kesepakatan Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) pada 2021 yaitu ketinggian hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.
“Pada tanggal 10 Maret nanti, tinggi bulan di Indonesia hanya sekitar 1 derajat atau kurang, elongasinya hanya 1,7 derajat. Jadi ini belum memenuhi kriteria MABIMS yaitu minimal 3 derajat dan elongasinya 6,4 derajat,” terang Thomas dalam Media Lounge Discussion (MELODI) di Jakarta pada Jumat (8/3/2024).
Karena itu, berdasarkan hisab maka 1 Ramadan 1445 H baru jatuh pada 12 Maret 2024. “Nanti akan dibuktikan secara Rukyat pada saat magrib tanggal 10 Maret 2024. Karena tingginya masih rendah, hampir dipastikan tidak ada yang berhasil melihat hilal,” terangnya.
Prakiraan tersebut berbeda dengan Muhammadiyah yang telah menetapkan awal Ramadan 1445 H jatuh pada 11 Maret 2024. Sementara pemerintah akan menetapkannya setelah pelaksanaan sidang isbat pada 10 Maret 2024.
Jika ada perbedaan penetapan awal Ramadan, apakah 1 Syawal 1445 H akan berbeda juga? Menurut prakiraan Thomas, tinggi bulan pada 29 Ramadan tingginya sudah 6,3 derajat di Jakarta, elongasinya 8,9 derajat.
“Kalau dilihat dari peta garis tanggalnya wilayah Indonesia dan sebagian Australia sudah sudah memenuhi kriteria MABIMS. Jadi tanggal 9 April, magribnya sudah masuk 1 Syawal. Sehingga Idul Fitri-nya Insya Allah akan seragam tanggal 10 April 2024,” terang Thomas yang juga menjadi Anggota Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama.
Sementara untuk tanggal 1 Dzulhijjah 1445 H, Thomas memprakirakan akan jatuh pada 8 Juni 2024 sehingga Idul Adha jatuh pada 17 Juni 2024. Hal itu karena saat magrib pada 6 Juni 2024 di Indonesia posisi bulan belum memenuhi kriteria baru MABIMS.
Pengaruh Kriteria Baru MABIMS
Perbedaan terkait penentuan awal Ramadan dan hari raya masih sering diperdebatkan hingga saat ini. Di Indonesia, Kementerian Agama (Kemenag) menggunakan kriteria baru yang mengacu pada hasil kesepakatan Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) pada 2021.
Penerapan kriteria baru MABIMS berdampak pada perubahan dalam penghitungan dan penetapan awal bulan Hijriah. Dilansir dari laman resmi Kemenag, selama ini, kriteria hilal (bulan) awal Hijriah adalah ketinggian 2 derajat, elongasi 3 derajat, dan umur bulan 8 jam.
Namun berdasarkan pada hasil kesepakatan Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) pada tahun 2021 kriteria hilal berubah menjadi ketinggian hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.
Kesepakatan ini ditandai dengan penandatanganan surat bersama ad referendum pada 2021 terkait penggunaan kriteria baru MABIMS di Indonesia mulai tahun 2022.
Adanya perubahan kriteria tersebut, berpengaruh terhadap penentuan awal bulan Hijriah. Terutama di Indonesia, yang menggunakan metode hisab dan rukyat.
Prof. Thomas Djamaluddin mengatakan rukyat (pengamatan) dan hisab (perhitungan) secara astronomi dinilai setara dalam penentuan awal bulan Hijriah. Sehingga, tidak ada dikotomi antara rukyat dan hisab.
“Metode rukyat hilal diterapkan pada tanggal 29 Hijriah untuk melaksanakan contoh Rasul (ta’abudi). Agar rukyat akurat, arahnya dibantu dengan hasil hisab. Hisab bisa digunakan untuk membuat kalender sampai waktu yang panjang di masa depan,” jelas Thomas.
“Agar hisab merujuk juga pada contoh Rasul, maka kriterianya dibuat sesuai dengan hasil rukyat jangka panjang, berupa data visibilitas hilal atau imkan rukyat (kemungkinan bisa dirukyat),” imbuhnya.
Menurut Thomas, penerapan rukyat dan hisab bisa dipersatukan dengan kriteria visibilitas hilal atau imkan rukyat. Dia berpendapat terjadinya perbedaan awal bulan Hijriah seperti Ramadan, Syawal, dan Zulhijah, bukan karena perbedaaan anatara metode hisab dan rukyat, akan tetapi karena perbedaan kriteria hilal.
Thomas menjelaskan bahwa kriteria menjadi dasar pembuatan kalender berbasis hisab yang dapat digunakan dalam prakiraan rukyat. Kriteria juga harus mengupayakan titik temu pengamal rukyat dan pengamal hisab, untuk menjadi kesepakatan bersama, termasuk MABIMS.
Di samping itu, wacana hisab-rukyat dalam dunia Islam telah terjadi shifting paradigm (pergeseran paradigma). Dulu hanya berkutat pada dalil-dalil hisab rukyat beserta interpretasinya, namun kini sudah bergeser ke arah pembahasan unifikasi kalender global.