Mesin Produksi Pasta hasil desain Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) siap diproduksi massal oleh PT Barata Indonesia (Persero). Kerjasama ini merupakan salah satu upaya untuk mendukung kedaulatan pangan melalui program diversifikasi pangan karbohidrat.
Mesin yang dikembangkan BPPT sejak 2010 ini mampu memproduksi pasta seperti mie, makaroni, serta beras buatan (analog) berbahan baku tepung pangan lokal seperti sagu, jagung, singkong, ubi jalar, dan lain-lain. Saat ini, teknologi BPPT tersebut telah digunakan di 28 industri kecil dan menengah yang tersebar di 12 Propinsi dan 22 Kabupaten di seluruh Indonesia.
Kepala BPPT Unggul Priyanto mengatakan untuk mendukung kedaulatan pangan, Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan beras. Saat ini, konsumsi beras perkapita sebanyak 120 kilogram/tahun. Angka ini jauh di atas Tiongkok 100 Kg, Malaysia 88 Kg, dan Jepang 60 Kg. Selain itu, data penduduk Indonesia setiap tahun semakin bertambah, dengan populasi kini lebih dari 250 juta jiwa.
Karena itu, BPPT melakukan pengkajian dan penerapan teknologi diversifikasi bahan pangan pokok dan penerapan inovasi teknologi pengolahan pangan dari hulu sampai hilir. Salah satunya melalui inovasi beras analog berbahan baku tepung pangan lokal seperti sagu. “Yang paling penting perlu sosialiasi bagaimana mengurangi kebiasaan tidak makan nasi,” kata Unggul seusai penandatangan kerjasama antara BPPT dan PT Barata di Jakarta, Kamis (15/12/2016).
Menurut Unggul, beras tak bisa lagi menjadi andalan, karena faktor menurunnya sumber daya lahan dan air. Selain itu, pangan lokal non beras memiliki indeks glikemik lebih rendah dibanding beras. Indeks glikemik sagu paling rendah yakni sekitar 40. Sementara beras di angka 88 dan singkong indeks glikemiknya sekitar 60.
Di samping itu, pada tahun 2030 diperkirakan jumlah penduduk Indonesia mencapai 300 juta jiwa sehingga berpotensi menimbulkan kerawanan ketahanan pangan utamanya terhadap kualitas dan kuantitas bahan pangan.
Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi BPPT, Eniya Listiani Dewi mengatakan satu unit prototipe mesin berkapasitas 50 kg per hari harganya berkisar antara 20-25 juta. Jika sudah diproduksi massal diharapkan harganya bisa lebih murah.
“Saat ini sudah ada pemesanan 100 unit. Kita desak agar Barata segera merealisasikan kontrak kerjasama ini,” ungkapnya.
Selain mesin produksi pasta, BPPT juga mengembangkan alat lain untuk membantu petani mengolah batang pohon sagu menjadi tepu. Sebelumnya petani membutuhkan waktu dua minggu mengolah satu batang sagu. Alat tersebut mampu mengolah lima batang sagu dalam satu hari.