Bogor, Technology-Indonesia.com – Pemerintah secara resmi telah mengumumkan adanya kasus virus corona baru (Covid-19) di Indonesia. Upaya pencegahan penularan Covid-19 pun menjadi perhatian banyak pihak. Saat ini, penularan Covid-19 masih antar manusia, namun perlu antisipasi dini adanya peluang virus ini menular ke hewan, kemudian menular kembali ke manusia.
Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner (BB Litvet) Badan Litbang Pertanian, NLP Indi Dharmayanti mengungkapkan saat ini penularan Covid-19 melalui human to human transmissions, namun perlu upaya antisipasi dan deteksi dini adanya peluang penyakit ini melompat ke hewan. Termasuk kemungkinan terjadinya rekombinasi atau perubahan virus yang dampaknya bisa lebih parah.
“Dikhawatirkan penyakit ini juga bersifat zoonosis. Kalau sudah dari manusia ke hewan, ini bisa bolak-balik. Inilah yang membuat kita harus waspada terutama di jajaran kesehatan hewan,” kata Indi di sela Focus Group Discussion (FGD) Kesiapsiagaan Masuk dan Menyebarnya Wabah Penyakit Hewan Emerging dan Re-Emerging di Indonesia, pada Selasa (3/3/2020) di Bogor.
Untuk itu, lanjutnya, diperlukan pedekatan one health untuk mencegah, mendeteksi dan merespon wabah penyakit dengan melaksanakan penelitian terkoordinasi lintas sektor melalui penelitian konsorsium terutama terkait zoonosis.
Lebih lanjut Indi menjelaskan, diversitas corona virus pada hewan sangat banyak, karena ada 3.402 jenis corona virus. BB Litvet telah melakukan riset terkait corona virus pada beberapa jenis kelelawar di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Hasilnya, 16 persen dari kelelawar yang diambil sampelnya telah terinfeksi betacoronavirus grup 2a. Corona virus ini berbeda dengan Covid-19 yang disebabkan betacoronavirus grup 2b.
“Kita sudah meneliti kelelawar itu terinfeksi beta coronavirus grup 2a. Memang agak berbeda secara genetik sekitar 64 persen,” terang Indi.
Kelelawar yang positif betacoronavirus adalah kelelawar buah (codot) dan kelelawar nektar, namun tidak ditemukakan di kelelawar besar (kalong). “Padahal masyarakat kita ada yang memanfaatkan kelelawar tersebut untuk jamu, obat kuat, dan obat asma,” lanjutnya.
Menindaklanjuti hasil riset tersebut, pihaknya berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat untuk menentukan langkah dan tindakan yang tepat ketika mengetahui ada satu titik yang terkontaminasi. Menurut Indi, sosialisasi menjadi sangat penting, “Selama ini kita lemah di sana, kemudian dibiarkan saja.”
Indi mengatakan, pihaknya memiliki tim analisis kebijakan veteriner yang setiap tahun memunculkan isu-isu untuk membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan.
“Kita ingin merumuskan suatu kebijakan dan menunjukkan ke dunia bahwa kita mampu mendeteksi baik di hewan maupun manusia. Setelah itu bagaimana kita mencegahnya dan pengendaliannya,” tuturnya.
Indi berharap FGD ini semoga bisa merumuskan langkah antisipasi sedini mungkin terutama di bidang kesehatan hewan setelah pemerintah mengumumkan secara resmi adanya kasus Covid-19 di Indonesia. Apalagi saat ini pengendalian berupa vaksi atau obat belum tersedia.
“Tindakan cepat kita harus seperti apa, terutama di Kementerian Pertanian yang bertanggung jawab terhadap hewan-hewan ternak. Sebagai laboratorium reference penyakit hewan kita harus berada di garda terdepan terutama untuk penyediaan kontrol positif dan reagen-reagen terkait untuk pemeriksaan yang harus dishare ke lab-lab yang lain,” pungkasnya.
FGD ini menghadirkan pakar dari Direktorat Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan; Pusat Karantina Hewan dan Kemanan Hayati Hewani, Badan Karantina Pertanian, Kementan; Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik, Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan; Puslitbang Biomedis dan Kesehatan Dasar, Badan Litbang Kemenkes, dan Balai Besar Penelitian Veteriner, Balitbangtan Kementan.