Jakarta, Technology-Indonesia.com – Fall Armyworm (FAW) atau Spodoptera frugiperda merupakan serangga yang berasal dari daerah tropis dan subtropis di Amerika. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) Fall armyworm adalah hama yang relatif baru dari Amerika. Kemunculannya di Benua Afrika pertama kali dilaporkan di Sao Tome dan Principe sekitar Januari 2016.
Banyak ahli memperingatkan jika tak ada tindakan dalam waktu dekat, ulat tersebut bisa menambah parah krisis pangan. FAO sebagai lembaga dunia tentang pangan dan pertanian menjelaskan hama tersebut dapat mengakibatkan kerusakan besar tanaman tergantung atas kondisi yang ada. Hama ini sulit dikendalikan dengan satu jenis pestisida saja, terutama ketika hama itu telah mencapai tahap pengembangan tempayak.
Seiring FAW yang terus menyebar, FAO menyelenggarakan Consultative Meeting on Fall Armyworm in Asia di Bangkok, pada 20 – 22 March 2019. Acara tersebut bertujuan mengumpulkan para ilmuwan dan praktisi yang relevan untuk membagikan pengetahuan dan pengalaman serta membantu kawasan mempersiapkan persiapan penyebaran FAW di Asia.
Kepala Balai Penelitian Tanaman Serealia, Badan Litbang Pertanian, Dr. M. Azrai yang hadir mewakili Indonesia menyampaikan bahwa jenis hama ini sangat berbahaya karena dapat menyerang semua jenis tanaman serealia dan tanaman kedelai, kecuali tanaman padi.
“FAW menyerang tanaman tanpa mengenal fase tumbuh dan musim, tanaman umur 14 dan 30 hst (hari setelah tanam) FAW sudah menyerang dengan intensitas di atas 90% dan pada setiap tanaman yang terserang terdapat 2-3 ulat pada setiap tanaman yang terserang,” terangnya.
Buku terbitan FAO berjudul “Integrated management of the Fall Armyworm on maize” menyebutkan bahwa dalam penyebarannya FAW merupakan salah satu jenis ulat grayak yang mempunyai jelajah tinggi karena dapat terbang hingga 100 km per malam serta memiliki beberapa generasi per tahun.
Azrai juga menyampaikan bahwa belum ada laporan secara resmi tentang kejadian serangan FAW di Indonesia, “Tetapi ada informasi ditemukan jenis hama yang sangat mirip dengan FAW di Pasaman Barat dan Lampung,” tambahnya.
Azrai menyarankan agar sebagai langkah antisipasi pencegahan dan deteksi perlu dilakukan sosialisasi melalui media sosial, website, penyebaran leaflet/buku saku dan TOT pengenalan dan metode deteksi dini bagi petugas OPT (Organisme Penganggu Tanaman) di setiap daerah sentra jagung di Indonesia.
“Serta pengetatan pengawasan benih tanaman pangan yang masuk ke Indonesia oleh Badan Karantina Pertanian,” tutupnya. Uje/AWA/RTPH