Bogor, Technology-Indonesia.com – Deteksi penyakit pada hewan dengan mengandalkan gejala klinis dan deteksi secara konvensional membutuhkan waktu yang lama. Padahal, hasil deteksi tersebut dibutuhkan untuk melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian secara cepat. Dengan aplikasi bioinformatika, deteksi penyakit bisa dilakukan dalam waktu yang cepat.
Kepala Seksi Program Balai Besar Penelitian Veteriner (BB Litvet) Badan Litbang Pertanian, drh. Harimurti Nuradji, Ph.D mengatakan Bioinformatika merupakan salah satu tools atau metode untuk mendeteksi penyakit hewan. Bioinformatika digunakan untuk mempermudah menentukan atau mendeteksi atau mendukung suatu diagnosa terhadap kejadian di lapangan.
“Kalau kita menemukan penyakit di lapangan khususnya penyakit hewan, Kalau ketahuan dan sudah hafal penyakitnya mungkin akan enak. Namun, banyak kasus yang kita tidak tahu penyebab penyakitnya. Sementara, untuk membuat rekomendasi kebijakan harus ada scientific base yang harus dicari, salah satunya menggunakan teknologi bioinformatika,” tutur Harimurti di sela bimbingan teknis (Bimtek) bioinformatika untuk deteksi penyakit hewan di Bogor, pada Senin (22/4/2019).
Saat deteksi penyakit hewan, terangnya, jika hanya mengandalkan gejala klinis dan deteksi secara konvensional membutuhkan waktu yang lama. Deteksi secara konvensional menggunakan deteksi virus yang dimasukkan ke dalam telur membutuhkan waktu observasi sekitar 5 hari.
Dengan menggunakan biologi molekuer, salah satunya dengan teknologi Polymerase Chain Reaction (PCR) konvensional, deteksi penyakit bisa selesai dalam waktu satu hari. Jika menggunakan PCR realtime hanya membutuhkan waktu 1-2 jam. “Dengan waktu yang sangat cepat ini, kita bisa memberikan informasi kepada masyarakat atau dinas terkait secara cepat sehingga mereka bisa melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian secara cepat,” ungkapnya.
Lebih lanjut Harimurti menerangkan, selain untuk deteksi penyakit, bioinformatika juga bisa digunakan untuk mengembangkan informasi untuk penyakit-penyakit yang tidak ada di Indonesia, namun tetap harus diwaspadai seperti penyakit mulut dan kuku (PMK). Indonesia dinyatakan bebas dari PMK sehingga agak kesulitan untuk mendapatkan kontrol positif. Karena itu, biologi molekuler dan bioinformatika bisa digunakan untuk merekayasa genetika untuk mengembangkan sintetik kontrol positif sebagai pengganti mikrooorganisme asing yang berbahaya.
“Untuk pengembangan deteksi penyakit kita butuh kontrol positif yang kadang tidak kita miliki agennya. Sebagai penggantinya, kita bisa mengembangkan sintetik kontrol positif untuk deteksi penyakit. Pengembangan sintetik kontrol positif membutuhkan kloning dan rekayasa genetik, sehingga kita tidak butuh mikroorganisme aslinya yang berbahaya. Kita bisa menggunakan sintetik kontrol positif yang tidak berbahaya untuk lingkungan dan tidak mencemari atau menginfeksi hewan-hewan yang yang ada Indonesia,” terangnya.
Menurut Harimurti, saat ini bioinformatika mengalami perkembangan luar biasa. Kementerian Pertanian (Kementan) termasuk BB Litvet sudah banyak melaksanakan kegiatan penelitian terkait bioinformatika. Sebagai peneliti, Harimurti juga sudah melakukan berbagai penelitian terkait deteksi untuk virus dan mikroorganisme lain dengan menggunakan perangkat bioinformatika seperti PCR baik real time maupun konvensional.
Aplikasi bioinformatika, biologi molekuler, dan rekayasa genetik dulu sangat mahal karena membutuhkan peralatan modern. Sekarang dengan perkembangannya luar biasa dan harga peralatan bioinformatika semakin turun. Namun Harimurti menekankan bahwa untuk pengoperasian perangkat bioinformatika membutuhkan sumber daya manusia (SDM) atau tenaga yang ahli dan pelaksanannya terekam. Selain SDM, diperlukan juga laboratorium karena tidak bisa diaplikasikan di lapangan secara bebas.
“Untuk molekuler biologi sudah banyak yang memiliki laboratorium. Hanya saja, laboratorium yang mempunyai peralatan next generation sequensing memang terbatas. Di Balitbangtan laboratorium tersebut ada di BB Biogen dan BB Litvet,” terangnya.
Setelah peralatan dan laboratorium, hal yang perlu diperhatikan adalah analisis, sebab data yang didapatkan bukan analisis positif atau negatif. Selain itu, proses analisis ini yang memang memakan waktu. Karena itu workshop yang digelar oleh BB Litvet pada pada 22-26 April 2019 mencoba menekankan analisis data dari bioinformatika.
Harimurti mengungkapkan, saat ini, riset yang sedang dikerjakan BB Litvet menggunakan bioinformatika antara lain pengembangan vaksin untuk penyakit unggas seperti Infectious Bursal Disease (IBD) atau lebih dikenal dengan nama Gumboro. Penyakit ini menyebabkan angka kesakitan dan kematian tinggi, biasanya menginfeksi satu organ kekebalan pada ayam.
Virus Gumboro, lanjutnya, memiliki daya tahan di lingkungan sehingga untuk pengendaliannya agak susah. Bahkan untuk ayam yang sudah divaksin masih bisa ditembut virus ini. Penyakit Gumboro menyerang organ kekebalan yang menyebabkan kekebalan ayam menurun sehingga mudah terinsfeksi mikroorganisme lain seperti bakteri.
“Selain mengembangkan vaksin untuk Gumboro, kita menggunakan bioinformatika untuk melihat seberapa jauh virus Gumboro yang bersirkulasi di Indonesia. Kelebihan teknologi bioinformatika kita bisa bandingkan antara seed vaksin yang digunakan apakah masih cocok dengan virus yang ada,” pungkasnya.
Bimtek ini menghadirkan narasumber dari dalam dan luar negeri, antara lain Lee McMichael (Queensland University, Australia), Stanly Pang (Murdoch University, Australia), Widya Asmara (Universitas Gadjah Mada), NLP Indi Dharmayanti (BB Litvet), Silvia Triwidyaningtyas (Universitas Indonesia), dan Hidayat Trimarsanto (Lembaga Molekuler Eijkman). Bimtek diikuti 120 peserta dari berbagai institusi baik dari lingkup maupun dari luar Kementerian Pertanian.