JAKARTA – Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) bersama Kementerian dan Lembaga (K/L) terkait sedang mempersiapkan konsep Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) 2017-2045. Roadmap riset ini berisi rencana dan proyeksi program riset jangka panjang, sehingga Indonesia memiliki arah dan target pembangunan riset yang jelas dan terukur.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohamad Nasir mengatakan RIRN 2017-2045 ini rencananya akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres). “Harapannya bisa dilaksanakan untuk pembangunan ekonomi berbasis riset,” kata Nasir di sela Rapat Kerja BPPT 2017 di Jakarta, Selasa (21/2/2017).
Menurut Menristekdikti, di dalam RIRN 2017-2045 terdapat masalah pembiayaan riset yang saat ini hanya 0,2%. “Mungkin tidak ke depan menjadi 1 persen atau 2 persen,” ungkapnya. Menristekdikti juga mendorong agar pemerintah dan swasta bisa bekerjasama untuk membiayai riset tersebut.
“Saat ini RIRN sedang dalam proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Maret 2017 kita agendakan untuk bisa diajukan ke Presiden,” terang Nasir.
Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Unggul Priyanto mengatakan BPPT sebagai satu dari tujuh Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) yang berada di bawah Kemenristekdikti ikut terlibat dalam penyusunan RIRN tersebut. “Riset yang dilaksanakan BPPT tak lepas dari roadmap dari Kemenristekdikti karena itu merupakan payungnya,” ungkap Unggul.
Menurut Unggul, BPPT telah membuat dua aturan untuk meningkatkan hasil-hasil inovasi di BPPT. Pertama hasil riset dengan tingkat kesiapan teknologi atau Technology Readiness Level (TRL) di bawah enam umumnya akan ditolak. “Kecuali penemuan yang betul-betul baru,” lanjutnya.
Aturan kedua, setiap riset sedapat mungkin bekerjasama dengan industri. “Saya minta hampir semua riset di BPPT ini bekerjasama dengan industri supaya cepat aplikasinya ke masyarakat. Kalau kita mulai sendiri dari awal, nanti meyakinkan industri akan susah,” terang Unggul.
Hingga saat ini, BPPT telah menghasilkan banyak inovasi di berbagai fokus bidang. Di bidang pangan misalnya, BPPT mengembangkan beras analog untuk diversifikasi pangan serta jagung hibrida yang usianya lebih pendek. “Jagung hibrida ini umurnya hanya 85 hari, namun produksinya sama dengan jagung yang usianya 120 hari. Diharapkan petani dalam satu tahun bisa menanam beberapa kali,” kata Unggul.
Inovasi di bidang obat-obatan berupa garam farmasi. Di bidang transportasi berupa layanan teknologi rencana pembangunan kereta cepat Jakarta-Surabaya serta sistem navigasi pesawat Automatic Dependent Surveillance Broadcast (ADS-B). Di bidang pertahanan dan keamanan (hankam), pesawat tanpa awak atau drone. Di bidang kebencanaan, BPPT mengembangkan alat untuk mendeteksi tanah longsor.
Dari sisi teknologi informasi dan komunikasi, BPPT telah mengajukan e-voting dan e-government. Sementara di bidang energi terbarukan, BPPT mengajukan teknologi pembangkit listrik panas bumi panas bumi skala kecil dengan TKDN maksimum hingga 70 persen.
Untuk tahun 2017, BPPT mentargetkan berbagai hal. Misalnya di bidang obat-obatan, BPPT akan mengembangkan filler obat berbahan baku singkong. “Selama ini bahan baku untuk filler, campuran untuk pil itu impor serartus pesen. Harganya cukup mahal 30 ribu rupiah per kilo,” ungkapnya.
BPPT juga akan mengembangkan garam industri, jagung hibrida, serta vaksin untuk malaria dan analisa uji demam berdarah. “Sampai sekarang ujinya lama dan susah di prediksi dengan cepat,” pungkasnya.