Jumlah publikasi internasional yang dimiliki Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN. Jumlah perguruan tinggi di Indonesia yang mencapai 4.400 institusi ternyata tak mencerminkan banyaknya jumlah publikasi internasional.
Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir menyebutkan dalam hal riset di Asia Tenggara, Indonesia berada di urutan ke empat. Padahal Indonesia memiliki jumlah penduduk terbesar.
Menurutnya,Malaysia memiliki jumlah publikasi internasional sekitar 23.000, Singapura 17.000-an, dan Thailand 13.000-an. “Alhamdulillah jumlah publikasi internasional kita tahun 2016 ini naik dari sekitar 6.250 jadi lebih dari 9.000 publikasi,” kata Nasir saat membuka Rapat Koordinasi (Rakor) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) di Jakarta, Selasa (6/12/2016).
Menristekdikti mengatakan, jumlah publikasi internasional Indonesia terbilang masih kurang karena potensi di perguruan tinggi negeri dan swasta ada 250.000 dosen, 6.000 guru besar, dan 31.000 lektor kepala.
Menurut Nasir jika dari jumlah guru besar dan lektor kepala yang mencapai 37.000 orang tersebut setengahnya menghasilkan publikasi, maka dari perguruan tinggi bisa menyumbang publikasi internasional sekitar 18.500 dalam setahun. Indonesia sudah bisa menjadi juara di Asia Tenggara.
Karena itu di awal Januari, Kemenristekdikti akan mengeluarkan regulasi yang mewajibkan para guru besar setiap tahun satu kali mengeluarkan publikasi. Para rektor kepala dua tahun sekali. “Kalau ini bisa dilakukan maka publikasi akan lebih besar jumlahnya,” jelas Nasir.
Menristekdikti berharap agar riset yang dilakukan jangan hanya sebatas riset dasar. Setelah publikasi selesai harus ditingkatkan harus ditingkatkan pada prototype dan inovasi. Ia juga menekankan kegiatan di perguruan tinggi yang tidak punya nilai tambah sebaiknya dipangkas dan dialihkan ke penelitian.
Dalam kesempatan tersebut, Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristekdikti, Muhammad Dimyati mengatakan Rakor kali ini selain Rakor tahunan, juga merupakan kelanjutan 9 Agustus di Solo, saat acara Hakteknas ke-21. Rakor tersebut menghasilkan Protokol Solo Baru, sebuah kesepakatan yang ingin mendorong pencapaian Indonesia sebagai Juara ASEAN, dalam publikasi ilmiah dan kekayaan intelektual.
Menurut Dimyati, berbagai masukan sangat diperlukan untuk penyempurnaan dan penyelarasan berbagai program riset dan pengembangan pada tahun 2017 mendatang. Rakor ini merupakan upaya mewujudkan iklim yang lebih kondusif dan penyelarasan program, baik secara vertikal maupun horisontal secara berkesinambungan, mengingat lingkungan strategis baik nasional, regional, maupun internasional dewasa ini sangat dinamis dan bergerak sangat cepat.
Rakor bertema “Penguatan Riset di Perguruan Tinggi dan Lembaga Litbang kepada Masyarakat untuk Meningkatkan Kemandirian dan Daya Saing Bangsa” ini dihadiri oleh para Rektor Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta, LPNK Ristekdikti, Badan Litbang Kementerian dan Daerah, LPPM Perguruan Tinggi, Kopertis dan stakeholder lainnya. Rakor juga diisi dengan expose (pameran) hasil-hasil riset LPPM dan lembaga litbang.