Minggu lalu, terbetik berita salah satu roket uji coba milik konsorsium dibawah Kementerian Riset dan Teknologi di wilayah Lumajang, Jawa Timur melenceng dari sasaran. Para wakil konsorsium yang melibatkan beberapa perusahaan seperti PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia, PT LEN, ITB, BPPT, dan LAPAN ini, Jumat malam (29/1), memaparkan kronologis kejadian.
Disebutkan, rencana uji terbang roket berjumlah 14 roket terdiri dari tipe RX 1210 single stage, dan RX 1213/1210 double stage serta RKN 200. Namun, hanya 10 roket saja yang sempat diterbangkan dan 4 roket sisanya terpaksa ditunda karena terjadi musibah. Dari 10 roket yang diterbangkan, 9 roket terbang dengan performa sangat baik, termasuk roket tipe RX1213/1210 double stage.
Saat pengujian roket Nasional 200 (RKN 200) double stage, selongsong dari roket tersebut menimpa halaman rumah singgah atau saung penduduk dan mencederai 2 orang yang berada di dalam saung tersebut.
Kendati penyebab kegagalan masih dalam penyelidikan, namun laporan sementara menyebutkan dugaan terjadi perubahan terhadap sistem kerja fin (sirip), sistem separasi, dan kinerja sustainer. Sementara cuaca saat itu, angin bertiup cukup kencang pada saat roket ditembakkan. Dalam serangkaian tes sebelumnya, roket dapat diterbangkan pada kecepatan angin dibawah 10 knot, namun saat itu angin bergerak dengan kecepatan 20 knot. Setelah ditunggu setengah jam, kecepatan hanya turun 15 knot. Selain masalah kecepatan angin, kegagalan juga diduga terjadi pada sensor inersia yaitu sistem yang mengatur olah gerak actuator, sensor GPS (Global Positioning System), dan kamera pengintai.
Roket Kendali
Musibah tersebut tentu saja memicu keprihatinan berbagai kalangan, karena uji coba roket kendali terbilang baru. Sebelumnya, lebih banyak dilakukan uji coba roket balistik. Roket ini tidak memerlukan sistem kendali atau hanya diarahkan dari darat hingga mencapai posisi tertentu, lalu diluncurkan .
Berbeda dengan roket balistik, jenis roket kendali dilengkapi “mata dan otak” didalamnya, sehingga bisa diarahkan ke target lain. Mata pada roket kendali disebut seeker atau pencari target dengan teknologi infra merah. Sedangkan, otaknya atau controller berisikan program-program (on board computer). Sementara actuator berfungsi menggerakkan roket. Jeni roket ini dilengkapi pula beragam sensor sehingga dapat terbaca kondisi dan kerja roket saat itu.
Sistem kendali roket ada jenis otonomous atau sistem kontrolnya berdiri sendiri, sehingga saat diluncurkan roket sudah memiliki peta kerja sendiri. Atau, roket kendali yang masih perlu memerlukan bantuan perintah kerja dari darat.
Sistem kendali tersebut dapat dipasang di moncong roket (canard ) yang bisa sangat responsif dengan berbagai bentuk yaitu delta, trapezium, atau square. Atau, dipasang di sirip belakang (tail control).
Sedangkan, daya dorong di bagian ekor (sistem motor) dibagi dua bagian yaitu buster dan sustainer. Buster berfungsi hanya untuk mendorong roket terbang sampai kecepatan tertentu, kemudian dilanjutkan sustainer untuk mempertahankan laju roket. Di Indonesia, sustainer menggunakan propelan dengan pembakarnya sigaret burning dengan daya bakarnya cukup lama, dan menghasilkan tenaga yang tidak terlampau besar. Keunggulan menggunakan sustainer, roket lebih mudah dikendalikan karena terbangnya tidak terlalu kencang, dan waktu terbangnya cukup lama.
Roket kendali dapat diluncurkan dari berbagai arah tergantung kebutuhan, diantaranya diluncurkan dari udara ke permukaan (air to surface), permukaan ke permukaan (surface to surface), atau dari udara ke darat (air to ground). Sedangkan, daya jangkau bisa jarak pendek (sort range), menengah (medium range), atau jauh (long range), dengan kisaran radius 5- 1000 km.
Kelebihan roket kendali, tidak hanya untuk target tidak bergerak (point target atau area target), tapi juga diarahkan pada target bergerak, seperti pesawat tempur dan kapal musuh.
Sebelum diluncurkan, dilakukan serangkaian uji coba di darat. Dalam uji coba ini, simulasi dilakukan menggunakan software khusus. Parameter-parameter roket yang akan diluncurkan dimasukkan dalam komputer, termasuk sistem kontrolnya juga menggunakan software tersebut. Sehingga arah kendali roket akan terlihat dalam layar komputer.
Juga dilakukan uji terowongan angin dengan memasang roket di dalamnya. Kemudian sistem kontrol dinyalakan untuk melihat arah gerak roket, baik kendali sirip, perputaran hingga kestabilan konfigurasi sistem . Tentu saja, kecepatan angin yang dipasang harus mendekati kecepatan roket.
Meskipun tidak menggemparkan sepertihalnya kejadian meledaknya roket di berbagai negara, nemun musibah tersebut memicu keprihatinan berbagai kalangan. Maklum saja, pengembangan roket di Indonesia telah dilakukan puluhan tahun silam, dimulai sekitar 1968 bersamaan dengan India . Namun, dalam perjalanannya tidak semulus Negeri Gajah tersebut.
Berbagai kendala dihadapi kalangan perintis teknologi roket di Tanah Air, mulai dari political will yang memprioritaskan pada teknologi dirgantara hingga berdampak pada minimnya pendanaan dan ketersediaan bahan baku yang mendapat rintangan negara Adidaya.
Disisi lain, teknologi roket bukan termasuk bidang publik yang bisa diserap dengan mudah dari negara-negara lain, karena dapat terkait ancaman pertahanan suatu negara. Dengan kata lain, teknologi roket dari hulu ke hilir sangatlah eksklusif.
Namun, penguasaan teknologi roket tidak bisa dipandang sepele. India mampu “unjuk gigi” di bidang transportasi luar angkasa dengan meluncurkan sekitar 13 satelit, berkat roket–roket buatan dalam negeri. Bahkan, saat terjadi gerhana matahari Januari lalu, India meluncurkan serangkaian roket untuk mempelajari dampak gerhana matahari. Sementara, Indonesia masih harus menunggu antrian mendompleng roket India untuk luncurkan satelit hingga tahun depan. **Ap/Lea