JAKARTA – Eliminate Dengue Project – Yogyakarta (EDP-Yogyakarta) tengah mengembangkan penelitian pengendalian demam berdarah dengue (DBD) dengan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia. Nyamuk tersebut mampu menghambat penularan virus dengue di dalam tubuh nyamuk sehingga tidak menular ke tubuh manusia.
Wolbachia merupakan bakteri alami yang terdapat di 60% jenis serangga yang ada di bumi, termasuk kupu-kupu, lebah, lalat, dan buah. Namun, Wolbachia tidak terdapat dalam nyamuk Aedes aegypti penyebab demam berdarah. Proyek yang dimotori Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM) ini dimulai sejak tahun 2011 tepatnya di Kabupaten Sleman dan Bantul, Provinsi Yogyakarta.
Kajian analisis risiko oleh tim independen yang dibentuk Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) menunjukkan bahwa hasil penelitian pengendalian DBD dengan teknologi Wolbachia ini aman atau memiliki risiko yang dapat diabaikan (negligible risk). Negligible Risk adalah resiko terendah dari lima tahap resiko yaitu Negligible Risk, Low Risk, Moderate Risk, High Risk, dan Very High Risk.
Ketua Tim Kajian Analisis Risiko, Damayanti Buchori mengatakan pengendalian DBD dengan Wolbachia aman dilihat dari empat aspek yaitu ekonomi dan sosio-kultural, pengendalian vektor, ekologi, dan kesehatan masyarakat. “Resiko tetap ada tapi sangat kecil dan efek negatif juga kecil dari pelepasan nyamuk dengue ber-Wolbachia,” ujar Damayanti dalam Konferensi Pers di Gedung II BPPT, Jakarta, pada Jumat (2/9/2016).
Tim pakar independen ini dimotori oleh lima ahli dari berbagai bidang dari universitas dan lembaga riset di Indonesia. Selain tim inti, terdapat 20 anggota tim pengkaji risiko yang tergabung dalam kajian ini. Pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia dilakukan di Yogyakarta pada skala kecil di sebagian wilayah Sleman dan Bantul pada 2014, menjadi bahan penting bagi pelaksanaan analisis risiko.
Pada 2016, Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah merekomendasikan perluasan penelitian terkait penggunaan Wolbachia untuk menangani penyakit disebabkan nyamuk Aedes, diantaranya penanganan DBD. Selain Indonesia, negara lain yang tergabung dalam EDP Global yang melakukan kajian serupa adalah Vietnam dan Australia.
Menurut Damayanti, hasil kajian tersebut menjadi tonggak untuk melakukan kajian lebih lanjut di Indonesia, dalam latar lingkungan yang berbeda. Kemenristekdikti berharap hasil kajian analisis risiko ini bisa digunakan tim peneliti untuk terus mengembangkan penelitian, mengingat penyakit DBD masih menjadi ancaman serius di Indonesia.
Peneliti utama EDP-Yogyakarta Adi Utarini mengatakan penelitian ini diawali tahun 2011 melalui pendekatan berjangka panjang dan dilakukan secara bertahap. “Pada fase pertama tahun 2011-2013, kami mempelajari betul aspek keamanan dan kelayakan penelitian ini. Dalam aspek kelayakan, apakah kami mampu menghasilkan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia,” lanjutnya
Pada fase kedua, lanjutnya, mulai diujicoba pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia di empat wilayah terbatas, yaitu dua dusun di Kabupaten Sleman, dan dua dusun di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Pada fase dua, Tim EDP-Yogyakarta ingin menjawab pertanyaan apakah bisa nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia kawin dengan nyamuk Aedes aegypti yang ada di alam dan menghasilkan keturunan nyamuk ber-Wolbachia.
“Di Sleman dan Bantul, kita sudah mengamati selama 2 tahun lebih. Hasilnya saat ini, sebagian besar nyamuk di wilayah tersebut sudah mengandung Wolbachia. Di Australia, hal ini dipantau selama lima tahun setelah pelepasan dan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia tetap ada di habitat alami. Jadi satu kali intervensi, hasilnya akan sustainable,” ungkap Adi Utarini.
Fase ketiga akan dimulai di kota Yogyakarta, dengan menyebarkan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia ke wilayah yang lebih luas, mencakup 40% kota Yogyakarta. “Kami akan membandingkan apakah betul di wilayah yang ada Aedes aegypti ber-Wolbachia akan lebih sedikit atau lebih rendah kasus DBD-nya,” kata Adi Utarini.
Menurut Adi Utarini, penelitian ini masih akan berjalan hingga 2019 untuk mengamati jika Wolbachia tetap tinggi di habitat alami, apakah akan terjadi penurunan kasus DBD dan seberapa banyak penurunannya. “Penelitian ini kami lakukan hingga 2019 untuk membuktikan bagaimana efektifitas teknologi Wolbachia ini,” pungkasnya.