Jakarta, technology-indonesia.com – Sebenarnya berapa banyak pulau yang dimiliki Indonesia? Data Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman mencatat Indonesia memiliki 17.500 pulau. Jumlah tersebut berbeda dengan data resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu 13.466 pulau.
Perbedaan ini disebabkan karena data pulau yang dilaporkan kepada PBB adalah data valid dan sudah bernama. Berarti ada sekitar empat ribu lebih pulau belum memiliki nama.
PBB hanya mengakui daftar pulau sebuah negara bila dilengkapi dengan nama dan posisi pulau, bukan sekedar mencantumkan jumlahnya. PBB juga telah mengatur pedoman dan penerapan kaidah toponim. Ini berarti, mendata pulau menjadi kebutuhan mutlak bagi Negara Indonesia.
Kepala Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim Badan Informasi Geospasial (BIG) Ida Herliningsih mengatakan ada empat tahapan pembakuan nama rupabumi yang juga dikenal dengan istilah nama geografis atau toponim. “Tahapan tersebut adalah identifikasi, inventarisasi, verifikasi, dan penetapan nama,” terang Ida dalam diskusi “Peran Toponim dan Maknanya Dalam Menjaga Kedaulatan Bangsa” di Jakarta, Jumat (26/5/2017).
Pembakuan nama rupa bumi, papar Ida, antara lain bertujuan menjamin tertib administrasi wilayah dan mewujudkan adanya gasetir nasional sehingga ada kesamaan pengertian mengenai nama rupabumi di Indonesia. Gasetir Nasional adalah daftar nama rupabumi yang telah dibakukan secara nasional dilengkapi dengan informasi tentang jenis unsur, posisi, lokasi dalam wilayah administratif, dan informasi lain yang diperlukan.
“Pembakuan nama rupa bumi juga bertujuan mewujudkan data dan informasi akurat mengenai nama rupabumi di seluruh wilayah NKRI, baik untuk kepentingan pembangunan nasional maupun internasional,”lanjutnya.
Prinsip penamaan rupabumi berdasarkan pasal 6 Permendagri No. 39/2008 tentang Pedoman Umum Pembakuan Nama Rupabumi antara lain penggunaan penggunaan abjad romawi; satu unsur rupabumi satu nama; penggunaan nama lokal; berdasarkan peraturan perundang-undangan; serta menghormati keberadaan suku, agama, ras dan golongan.
“Penamaan rupabumi harus menghindari penggunaan nama diri atau nama orang yang masih hidup. Serta menggunakan bahasa lndonesia dan/atau bahasa daerah; dan paling banyak tiga kata,” terang Ida.
Standardisasi toponimi tidak hanya berlaku untuk wilayah daratan, tetapi juga dalam penamaan lautan dan unsur geografisnya (toponym maritime). Sebuah peta yang mengandung toponim menjadi alat komunikasi yang baik secara nasional maupun internasional.
Prosedur internasional penamaan sebuah pulau atau daerah menetapkan syarat visitasi (kunjungan) pulau. Masyarakat lokal sekitar pulau harus dilibatkan, yang menandakan adanya pendudukan de facto terhadap pulau tersebut. Syarat ini tercantum dalam Resolusi PBB melalui United Nation Group of Expert on Geographical Names (UNGEGN) nomor 4 tahun 2017.
Pentingnya proses penamaan pulau sangat strategis karena terkait dengan kedaulatan Indonesia di mata Internasional. Semakin tinggi validitas data, semakin bisa dipertanggungjawabkan. Data ini akan menjadi basis penting bagi pengambilan kebijakan selanjutnya unuk pengembangan potensi pulau, lautan dan unsur geografisnya.
Kelengkapan dan akurasi data juga penting sebagai strategi pertahanan dan keamanan dari potensi tindak kejahatan di sekitar laut serta potensi gejolak sosial politik. Data ini juga bisa menjadi basis penyusunan kebijakan pembangunan, penataan wilayah laut, pengelolaan kawasan pulau-pulau kecil, dan manfaat lainnya.
Menurut Ida, Jumlah pulau di Indonesia yang disepakati PBB tahun 2012 dari hasil validasi dan verifikasi sampai tahun 2008-2009 berjumlah 13.466 pulau. Target dalam RPJMN sampai 2017 pendataan pulau harus selesai hingga 17 ribu pulau. Tugas Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk memvalidasi pulau-pulau tersebut.
Hingga 2015-2016 tercatat sudah ada 14.572 pulau yang terdata. Pada acara UNGEGN Agustus 2017, Indonesia akan melaporkan jumlah pulau yang diperoleh terakhir hingga Juli 2017. “Semoga bisa selesai tujuh belas ribu sekian pulau,” harap Ida.
Diskusi yang dipandu oleh Gabriel Titiyoga, Staf Redaksi Kompartemen Sains dan Teknologi Tempo ini juga menghadirkan Tumpak H. Simanjuntak (Direktur Toponimi dan Batas Daerah Kemendagri) serta Multamia RMT Lauder (Departemen Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia).
Artikel terkait: Kajian Toponimi Bukan Pekerjaan Sepele