Asosiasi Energi Laut Indonesia (ASELI) dalam lokakarya bertema “Analisis Data Peta Potensi dan Penguatan Regulasi Energi Laut Indonesia” beberapa waktu lalu di Bandung menyebutkan potensi listrik yang dapat dihasilkan dari energi laut kita mencapai 49 ribu megawatt (mw). Ini membuktikan lautan Indonesia yang luasnya 2,5 kali luas daratan, menyimpan potensi yang sangat besar, bukan hanya sebagai penghasil berbagai jenis produk laut tetapi juga ternyata menyimpan potensi energi yang sangat besar.
Berbagai penelitian dan pengembangan pemanfaatan energi laut telah dilakukan oleh berbagai badan litbang termasuk diantaranya adalah BPPT, Litbang ESDM, Litbang BUMN (PLN), berbagai perguruan tinggi Negeri maupun swasta. Namun sayangnya, hingga saat ini potensi tersebut sama sekali belum tersentuh.
Saat ini terdapat tiga jenis listrik energi laut yang bisa dimanfaatkan, yakni energi pasang surut, energi gelombang, dan energi panas laut.
Khusus untuk indonesia saat ini, meski potensi terbesar ada pada energi panas laut, tetapi yang paling visible dikembangkan adalah energi pasang surut dan gelombang yang bisa menghasilkan listrik 6 ribu mw. Kawasan yang potensial untuk hal tersebut, terutama perairan yang berhadapan dengan laut lepas, seperti selatan Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara, bagian barat Sumatra, dan utara Papua.
Namun disisi lain dukungan pemerintah untuk mengimplementasikan hasil penelitian dibidang energi laut belum terasa. Pijakan pengembangan energi laut sebenarnya telah tersedia dalam UU No. 30/2007 tentang Energi maupun UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).
Kenyataannya, peta jalan pengembangan energi laut dan Rencana Umum Kelistrikan Nasional belum mengakomodasi pemanfaatan energi laut. Keadaan ini disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah belum tersedianya informasi potensi energi laut yang secara ekonomis dapat dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik.
Ketua ASELI, Muhtasor mengatakan untuk mengimplementasikan hasil litbang energi laut, dapat dilakukan dengan dua strategi implementasi. Strategi pertama adalah dengan gerilya taktis dimana dilakukan pembangunan pembangkit dalam skala kecil antara 20 – 30 kilowatt.
Strategi kedua adalah penguatan nasional dengan membangun pembangkit skala industri (1-3 megawatt). Pembiayaan dari pembangunan ini tidak harus dari satu stakeholder saja, tapi dapat dilakukan sebagai proyek bersama oleh berbagai stakeholder.
Untuk itu diperlukan pemetaan potensi energi laut baik secara teoritis maupun secara praktis, setelah mempertimbangkan kebutuhan untuk pelayaran dan kondisi dasar laut. Juga penting untuk mengetahui aspek ketersediaan teknologi yang telah ada secara komersial di pasar Internasional, dikaitkan dengan penentuan potensi energi tersebut.
Ada juga keraguan akan potensi itu oleh karena menganggap bahwa tantangan kesulitan di laut belum mampu dikelola dengan kemajuan teknologi yang ada. Padahal teknologi energi laut Internasional telah berkembang pesat.
BPPT contohnya telah mulai melakukan pengkajian jenis-jenis teknologi ini untuk kemungkinan diterapkan di Indonesia. BPPT dan perguruan tinggi seperti ITS dan ITB juga telah mengembangkan jenis teknologi energi laut dalam negeri untuk mengembangkan kemampuan nasional di bidang industri energi laut.
Hal lain yang masih belum mendukung pengembangan energi laut adalah belum jelasnya regulasi yang terkait dengan implementasi teknologi pembangkit listrik energi laut. Misalnya, perizinan yang diperlukan dalam pemasangan pembangkit listrik energi laut dilepas pantai.
Asdep Jaringan Penyedia dengan Lembaga Regulasi, Deputi Jaringan Iptek sesuai dengan tupoksinya telah ikut mewujudkan jaringan antara para penyedia iptek di bidang energi laut dengan lembaga regulasinya.
Sementara itu menurut Staf Ahli Menristek Bidang Energi dan Material Maju, Agus R. Hotman mengelompokkan energi laut dalam dua kelompok besar, yaitu energi mekanis berupa arus, gelombang, dan pasang surut dan energi termal berupa perbedaan suhu antara permukaan air laut dan air laut di kedalaman tertentu.
Kedua kelompok energi tersebut memiliki tantangan dan potensi yang berbeda-beda, seperti misalnya untuk mengembangkan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), yang diperlukan adalah daerah dengan arus yang tidak terlalu besar, sementara untuk mengembangkan pembangkit listrik energi arus laut, yang diperlukan adalah daerah dengan arus yang besar.
Oleh karena itu perlu diingat bahwa dalam mengembangkan dan mengimplementasikan teknologi energi laut ini, harus disesuaikan dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah.
Potensi pantai
Bukan hanya laut yang memiliki potensi energi pinggir laut atau pantai pun memiliki potensi energi yang bisa dikembangkan. Seperti beberapa waktu lalu Kementerian Riset dan Teknologi menggandeng Universitas Gadjah Mada mengembangkan energi hibrid yang berbasis pada potensi panas matahari dan kekuatan angin.
Sebagai pilot projectnya yakni pantai Pandansimo, dengan luas 37 di Kabupaten Bantul dijadikan tempat pengembangan energi baru dan terbarukan ini.
Asisten Deputi Iptek Industri Kecil dan Menengah Ir. Santosa Yudo Warsono, M.T., mengatakan tahapan pengembangan energi hibrid pertama yang diterapkan di Indonesia ini telah memasuki tahun ketiga.
Program tahun ini lebih difokuskan pada pengembangan teknik produksi, peningkatan kapasitas produksi komponen, peningkatan kemampuan UMKM dan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir.
Untuk sementara ini, lanjut Santosa, pemanfaatan pembangkit listrik tenaga hibrid digunakan untuk penerangan kawasan wisata pantai.
Meski masih dalam tahap pengembangan, tenaga hibrid ini telah dimanfaatkan yakni untuk pertanian di lahan pasir yang membutuhkan air sangat tinggi. “Kita coba manfaatkan energi ini untuk menaikkan air tanah ke permukaan,” kata Santosa.
Saat ini pembangkit listrik energi hibrid sudah terpasang 35 unit turbin angin dengan tinggi rata-rata 18 meter, terdiri 26 turbin angin berkapasitas 1 kW, 6 turbin angin 2,5 kW, 2 turbin angin 10 kW, dan satu turbin angin 50 kW. Ditambah juga 175 unit sel surya dengan kapasitas 17,5 kWp.
Peneliti Energi Terbarukan dari Fakultas teknik UGM Dr. Ahmad Agus Setiawan, mengatakan pembangkit listrik tenaga hibrid sangat potensial dikembangkan di Indonesia sebagai negara kepulauan.
Berdasarkan hasil penelitian Agus, kecepatan angin di Indonesia tidak sebesar di Belanda yang telah memanfaatkan untuk energi kincir angin. Kecepatan angin di sekitar Pantai Pandasimo hanya berkisar 3-5 meter per detik sehingga perlu dikombinasi dengan generator kecepatan rendah dan energi panas matahari.
Sementara, Kepala Bapeda Bantul Drs. Tri Saktiana, M.S., mengharapkan teknologi hibrid ini mudah diaplikasikan, dipelihara, dan digunakan, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Panjang pantai di Bantul 13,5 km, kami berharap wilayah ini bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kesejahteraan masyarakat. Keinginan masyarakat kongkret, memajukan usaha dan pertanian lewat teknologi yang murah dan ramah lingkungan,” ujarnya. (berbagai sumber)