Kepala Pusat Sistem Penerapan Standar BSN, Zakiyah bersama Budhi Rahardjo, Kepala Biro Hukum, Organisasi, dan Humas BSN dalam acara Ngobras SNI di Jakarta, Selasa (24/1/2017).
JAKARTA – Untuk mendukung produk unggulan daerah, Badan Standardisasi Nasional (BSN) mendorong distribusi Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) ke Indonesia Bagian Timur. Pasalnya, keberadaan LPK masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Kepala Pusat Sistem Penerapan Standar BSN, Zakiyah mengatakan keberadaan laboratorium dan lembaga sertifikasi di Indonesia Bagian Timur bisa menekan biaya dan mempercepat proses sertifikasi. “Di daerah tertentu kalau mau menguji harus ke Jawa, ongkosnya jadi mahal,” kata Zakiyah dalam acara Ngobrol Santai (Ngobras) SNI dengan jurnalis iptek di Gedung I BPPT, Selasa (24/1/2017).
Terkait lamanya proses sertifikasi, menurut Zakiyah tergantung dari dari berbagai hal salah satunya kesiapan perusahaan. “Untuk sertifikasi produk relatif lebih lama dibandingkan sertifikasi umum yang bisa 1-2 bulan. Sertifikasi produk tergantung produknya, sebab produk harus diuji dengan berbagai parameter pengujian,” terangnya.
Hingga saat ini, telah ada 12.500 sertifikat SNI yang diberikan pada perusahaan/organisasi. Tercatat 4.203 produk berstandar SNI dari 425 jenis produk yang telah menerapkan SNI.
Untuk memudahkan pemantauan penggunaan tanda SNI, Undang-Undang baru memberi kewenangan pada BSN untuk memberikan langsung tanda SNI. Sebelumnya, BSN meminta data penggunaan tanda SNI dari Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro). “LPK tetap ada, BSN berkaitan dengan pemberian tanda SNI,” lanjutnya.
LSPro akan melakukan assessment atau penilaian maupun pengujian terhadap produk. Jika lulus uji, LSPro akan menerbitkan sertifikat kesesuaian. “Kalau dulu begitu sertifikat kesesuaian diterbitkan maka LPK bisa memberikan penggunaan tanda SNI pada perusahaan. Sekarang berdasarkan Undang-Undang baru, perusahaan mengajukan lagi ke BSN,” kata Zakiyah.
LSPro akan memastikan bagaimana perusahaan mengendalikan kontrol proses dan mengambil sampel kemudian diuji di laboratorium. Begitu sertifikat kesesuaian diterbitkan oleh LSPro, perusahaan mengajukan permohonan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda (SPPT) SNI ke BSN dengan melampirkan sertifikat tadi. “BSN hanya memverifikasi betul atau tidak dengan meminta lampiran foto produk,” terangnya.
Untuk menjaga integritas tanda SNI, BSN melakukan uji petik secara regular dengan melibatkan instansi terkait. Pada 2016 ada lima jenis produk yang diambil sampelnya di 20 kota. Tahun 2017, rencananya ada 10 jenis produk yang akan diuji petik. “Salah satu tujuan dari tanda SNI adalah bagaimana kita mengendalikan produk yang beredar. Artinya di hilir harus kuat pengawasannya,” ungkap Zakiyah.
Kalau SNI wajib, lanjut Zakiah, kita lihat pemenuhan terhadap standar masih relatif kecil dan masih perlu peningkatan. Sementara SNI Sukarela pemenuhan standar SNI-nya relatif lebih tinggi. Misalnya beras, hampir seratus persen memenuhi spesifikasi standar. “Memang terlihat kalau sukarela dari kemauan sendiri, sehingga betul-betul mentaati bagaimana kontrol prosesnya dan sebagainya,” lanjutnya.
Perangkat pengawasan lainnya adalah pada proses pengadaan barang di instansi pemerintahan mensyaratkan untuk menggunakan produk-produk Indonesia yang sudah ber-SNI. Namun, menurut Zakiyah, dalam kenyataanya tidak semua mematuhi itu.
Karena itu BSN bekerjasama dengan BUMN dan pemerintah daerah dan 42 perguruan tinggi untuk menggalakkan berbagai hal terkait standardisasi. “Di perguruan tinggi ada aspek lain yang kita bidik yaitu agar mahasiswa-mahasiswa bisa dikenalkan tentang standar dan diharapkan lahir banyak penelitian-penelitian terkait standarisasi,” pungkasnya.