JAKARTA – Tantangan pembangunan nasional berbasis desa dan daerah tertinggal antara lain ketersediaan data dan informasi geospasial yang memadai. Ketersediaan maupun tingkat kedetilan masih sangat tebatas. Pelaksanaan pembangunan desa membutuhkan informasi geospasial skala besar berupa peta yang menampilkan kondisi desa dengan baik.
Badan Informasi Geospasial (BIG) menjembatani ketersediaan informasi geospasial ini dengan menggunakan citra penginderaan jauh beresolusi tinggi. Peta citra ini menjadi dasar pemetaan tematik dasar wilayah desa yang terdiri dari batas administrasi, sarana dan prasarana, serta penutup dan penggunaan lahan.
Kepala BIG, Priyadi Kardonomengatakan peta citra satelit disiapkan oleh BIG bekerjasama dengan LAPAN (Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional). “Luas Indonesia sekitar 1,8juta km2. Pada 2015, BIG baru bisa menyiapkan citra satelit 925ribu km2. Sisanya diharapkan dilaksanakan pada 2016,” kata Priyadi di sela acara Peluncuran Peta Desa untuk Percepatan Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan di Jakarta, Selasa (16/2/2016).
Peta Desa yang diluncurkan berupa Peta Citra Desa, Peta Sarana dan Prasarana Desa, serta Peta Penutup Lahan dan Penggunaan Lahan. Peta Desa yang diluncurkan tersaji dalam skala 1:5000. “Kita juga mengkaji Peta Desa yang paling bagus itu dituangkan dalam skala berapa. Kita bisa membuat dalam skala 1:2500, 1:5000, atau 1:10.000. Tergantung dari luas desa itu sendiri,” kata Priyadi.
Dalam proses pembuatan Peta Desa, lanjut Priyadi, peta citra akan dikoreksi atau Orthoretifikasi, kemudian ditambahkan koreksi dengan Ground Control Point (GCP), sehingga peta citra ini bisa sama dengan peta itu sendiri. “Penampakan dari citra satelit lebih natural karena resolusinya 50 cm x 50 cm tiap pixelnya. Sehingga penampakan desa dari atas terlihat jelas,” ungkapnya.
Peta Sarana dan Prasarana lebih mengambarkan kondisi desa misalnya rumah, kantor, rumah sakit, jalan, dan lain-lain. Peta ini bisa digunakan desa untuk merencanakan pembangunan misalnya pembangunan jalan atau saluran irigasi. Sementara Peta Penutup dan Penggunaan Lahan untuk mengetahui luasan dari kondisi sekarang seperti luas sawah, semak belukar, kebun, dan lain-lain.
Menurut Priyadi, salah satu kendala penyiapan Peta Desa adalah masalah waktu. Menurut data Kemendagri, Indonesia memiliki 74.754 desa dan 8.412 kelurahan. “BIG sendiri sudah menyiapkan sekitar 1.600 desa yang sudah bisa tergambarkan. Pada 2016 akan kita tambahkan sekitar 3.100 desa lagi,” kata Priyadi
Untuk pembuatan peta desa, lanjut Priyadi, ada data lain yang bisa digunakan misalnya Peta RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) yang sudah dibuat oleh beberapa kabupaten. Peta Persil dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang ada sekitar 20.000 desa juga bisa digunakan. “Namun perlu ada penggambaran kembali sehingga unsur-unsur di peta BPN tadi bisa menjadi Peta Desa.”
Priyadi berharap pembuatan peta desa tidak berlangsung lama. Untuk proses penggambaran batas desa dalam satu kabupaten memerlukan sekitar 2 minggu – 1 bulan. Prosesnya, para Kepala Desa dalam satu kabupaten dikumpulkan untuk melihat peta citra. Kepala Desa diminta menggambarkan batas desanya yang harus disetujui oleh desa tetangganya. Kalau semua setuju kemudian dibuat berita acara.
Harapannya, proses ini bisa mempercepat penyelesaian batas administrasi yang menurut Kemendagri ada 975 segmen, namun baru terselesaikan 30 persen. Dengan sistem kartometrik secara deliniasi batas yang indikatif bisa digambarkan di atas citra satelit. “Kalau semua kabupaten selesai maka semua yang terkait masalah administrasi ini akan bisa mulai diurai,” kata Priyadi.
Dalam pembuatan Peta Desa, BIG telah menyiapkan mulai dari SOP, standar, prosedur, juklak dan juknis. “Siapa saja boleh mengerjakan asal menggunakan standar dan spesifikasi dari BIG. Agar peta desa ini bisa masuk dalam sistem pemetaan nasional yang disiapkan oleh BIG,” pungkasnya.