Kegiatan ini dibuka oleh Kepala Batan Dr. Hudi Hastowo di Jakarta pagi ini. Kegiatan akan berlangsung hingga 14 Mei 2010 dan dihadiri 20 orang peserta dari 13 negara anggota di kawasan Asia Pasifik, yakni dari Austria, Thailand, Australia, Bangladesh, China, India, Malaysia, Mynmar, Pakistan, Philipina, Korea Selatan, Sri Langka dan Vietnam, serta dua orang expert dari IAEA.
Meeting ini merupakan salah satu kegiatan dalam program Bantuan Teknik IAEA (RAS 5050) yang bertujuan untuk meningkatkan peran iradiasi dalam menunjang perdagangan internasional hasil-hasil pertanian. Dalam kegiatan ini akan disusun peraturan pedoman tertulis dalam mengaudit dan mengakreditasi fasilitas irradiator untuk pangan.
Setiap tahun, produk pertanian dengan nilai lebih dari US $ 1.128 triliun diperdagangkan antar negara bahkan antar benua. Pada tahun 2007 misalnya, diperdagangkan antar negara, kurang lebih 550 milyar ton pangan dari produk pertanian.
Lalu lintas produk pertanian ini memungkinkan terjadinya penularan antar negara berbagai macam penyebab hama/penyakit tanaman, hewan dan manusia, yang tentu saja sangat merugikan. Penyakit flu burung, penyakit mulut dan kuku, dan hama lalat buah adalah diantara berbagai jenis hama penyakit yang harus diwaspadai penularannya. Kerugian ekonomis dapat terjadi secara langsung, tetapi dapat juga secara tidak langsung, seperti misalnya melemahnya kegiatan ekspor- impor antar negara, melesunya semangat perdagangan, dan hilangnya kepercayaan konsumen terhadap produk yang diperdagangkan.
Menurut Hudi, untuk mencegah penularan tersebut, komoditas pertanian yang diperdagangkan dapat diperlakukan (treatment) dengan berbagai macam cara. “Ke depan iradiasi merupakan perlakuan alternatif yang paling diharapkan untuk menggantikan perlakuan kimiawi yang sekarang banyak digunakan. Penggunaan bahan kimia akan segera dilarang karena berbahaya bagi lingkungan (merusak lapisan ozon) dan kesehatan (karsinogenik),” terang Hudi.
Dijelaskan, perlakuan iradiasi tidak meninggalkan residu yang membahayakan konsumen karena memiliki daya tembus yang tinggi, iradiasi gamma akan lebih efektif dibandingkan cara lain.
Disamping itu, iradiasi juga lebih praktis, karena perlakuan dapat dilakukan pada bahan perdagangan yang telah dikemas. Perlakuan setelah pengemasan ini juga menguntungkan karena dapat mencegah terjadinya penularan kembali (reinfestasi) oleh penyebab hama dan penyakit.
Pada tahun 2003 lembaga internasional untuk perlindungan tanaman, International Plant Protection Commission (IPPC) telah mengakui digunakannya perlakuan iradiasi untuk tujuan ini, yakni melalui International Standard for Phytosanitary Measures (ISPM) yang diterbitkan (ISPM 18).
ISPM 18 telah digunakan dalam perdagangan buah-buahan antar Negara, misalnya antara Australia dan New Zealand pada tahun 2005, dan antara India dan Amerika Serikat tahun 2006.
Namun, kata Hudi, penggunaan iradiasi ini dalam pelaksanaannya masih terkendala oleh belum adanya protokol dan prosedur baku yang disetujui oleh semua negara baik secara internasional maupun regional.
Pertemuan selama empat hari di Jakarta ini bertujuan untuk menyusun guideline tertulis sehingga dapat dijadikan pedoman dalam praktek iradiasi pangan untuk tujuan menjaga keamanan kesehatan (sanitary) dan kesehatan tanaman (phytosanitary).
Pedoman ini diperlukan oleh para penentu kebijakan dalam menilai dan menyetujui suatu fasilitas irradiator yang digunakan untuk pangan. Pedoman ini nantinya diharapkan dapat menjadi standard acuan di tingkat regional oleh the Asia Pacific Plant Protection Commission (APPPC), bahkan di tingkat internasional oleh the International Plant Protection Convention (IPPC).
Diharapkan perlakuan sanitary dan phytosanitary dalam perdagangan internasional dapat dilakukan dengan cara yang lebih, efisien, lebih praktis, dan lebih aman baik bagi lingkungan maupun bagi kesehatan. Sedangkan bagi Indonesia diharapkan pemanfaatan iradiasi ini dapat meningkatkan nilai ekspor produk pertanian.