Susut hasil pasca panen sektor perikanan atau post-harvest fish losses (PHFL)di Indonesia diperkirakan sebesar 30%. Jika dibiarkan terjadi, susut hasil bisa menimbulkan kerugian besar. Berdasarkan data tangkapan ikan laut Indonesia tahun 2014 (sebesar 5,8 juta ton atau setara Rp 99 triliun), maka nilai PHFL bisa mencapai Rp 30 triliun.
Upaya meningkatkan pemahaman terhadap susut hasil perikanan merupakan kebutuhan mendesak karena dapat berdampak pada ketahanan pangan dan ekonomi bangsa. Untuk itu Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBP4BKP) Balitbang KP menyelenggarakan National Workshop on Post-Harvest Fish Losses in Indonesia di Jakarta, Selasa (3/11).
Menurut Kepala BBP4BKP, Agus Heri Purnomo seminar nasional ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada para pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan tentang pentingnya susut hasil di industri perikanan dan bagaimana cara mengurangi terjadinya PHFL di tingkat nasional maupun global.
Dalam sambutannya, Staf Ahli Menteri KP Bidang Kebijakan Publik, Achmad Poernomo mengungkapkan selama losses (susut) ini tidak bisa diatasi maka problem kualitas dan keamanan hasil perikanan tidak bisa hilang. “Saya berasumsi, kalau kita bisa menyelesaikan masalah ini, bisa dianggap permasalahan kualitas dan keamanan pangan hasil perikanan itu setidaknya 50% persen selesai,” lanjutnya
Susut hasil menurut Achmad adalah berkurangnya jumlah atau kualitas dari hasil perikanan yang seharusnya diperoleh. Penanganan yang kurang baik menyebabkan kualitas menjadi turun. Di Indonesia nilai susut hasil diperkirakan sekitar 30%.
“Tetapi di Indonesia sebenarnya tidak ada loss absolute, karena hampir semua hasil tangkapan itu dimanfaatkan. Menurut dunia luar, losses itu yang tidak bisa dimanfaatkan. Sementara di Indonesia, losses itu penurunan kualitas yang mengakibatkan penurunan harga,” lanjutnya.
Salah satu penyebabnya adalah faktor alam. Suhu tinggi menyebabkan ikan cepat busuk. Selain itu faktor treatment dari nelayan terutama nelayan kecil yang tidak tahu bagaimana cara memberlakukan ikan dengan baik.
Melalui seminar ini, Achmad berharap, “Semoga kita mendapatkan standar yang disepakati menyangkut losses, agar kita bisa membuat langkah-langkah yang bisa mendukung dan bisa diberikan kepada direktorat jenderal terkait.”
Salah satu pembicara utama Yvette Diei-Ouadi, Fishery Industry Officer FAO mengatakan susut hasil terjadi semua sektor pangan di semua negara. Namun di bidang perikanan susut hasilnya paling tinggi dibanding komoditas pangan lain.
Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki susut hasil yang lumayan tinggi terutama di kalangan Usaha Kecil Menengah (UKM). “Adanya susut pangan dan limbah sangat disayangkan,” kata Yvette.
Yvette berharap pertemuan ini tidak hanya menghasilkan data, tetapi terlaksananya reduksi losses. “Untuk itu dalam pertemuan ini tidak hanya ditampilkan data tapi mencari solusi apa yang bisa diimplementasikan di lapangan guna mengurangi susut hasil,” lanjutnya.
Dalam seminar nasional bertema Fish Loss Assessments: Causes and Solution: Case studies in the Small-scale Fisheries in IndonesiaI dipresentasikan hasil kajian pengukuran PHFL di empat wilayah yaitu Muara Angke (Jakarta), Tegal (Jawa Tengah), Yogyakarta, dan Brondong (Jawa Timur) .
Seminar juga mengangkat isu penting lainnya mengenai peran perempuan dalam sektor perikanan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Khususnya, mengenai gambaran umum komunitas perempuan dalam upaya untuk mandiri dan komitmen menyuarakan kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan.