Jakarta, Technology-Indonesia.com – Untuk menggenjot produktivitas padi, beberapa waktu lalu pemerintah telah menggerakkan Upaya Khusus (Upsus) Swasembada Pangan. Peningkatan produktivitas tersebut akan diikuti peningkatan penggunaan input pertanian berupa pupuk dan pestisida yang selama ini terbuat dari bahan-bahan kimia.
Para petani dalam menggunakan pestisida tersebut pada umumnya sering berlebihan, tidak mengikuti anjuran takaran dosis yang terdapat pada label kemasan produk. Hal tersebut dilakukan untuk mengimbangi efektivitas pestisida yang rendah akibat penguapan atau terbawa aliran air ke lingkungan. Penggunaan pestisida kimia secara berlebihan bersifat boros secara finansial dan residu atau sisa pestisida yang bersifat racun tersebut akan mencemari lingkungan dan kehidupan manusia di bumi.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) telah turut andil dalam upaya untuk mengurangi resiko penggunaan pestisida kimia melalui pengembangan teknologi pestisida yang bersifat ramah lingkungan. Teknologi pestisida yang telah dikembangkan ini menggunakan bahan baku alami minyak atsiri sereh wangi dan ekstrak tanaman melalui pendekatan nanoteknologi.
Minyak atsiri merupakan jenis minyak nabati yang diperoleh melalui proses penyulingan bagian tanaman baik daun, batang ataupun bunga. Minyak atsiri berbentuk cair, mudah menguap pada kondisi ruang dan memiliki aroma tertentu yang spesifik. Minyak atsiri sereh wangi dihasilkan dari proses penyulingan batang tanaman sereh wangi pada kondisi tertentu sampai diperoleh cairan berwarna kekuningan dan beraroma khas sereh wangi.
Mengapa jenis minyak ini dapat digunakan sebagai penggusir hama? Minyak atsiri memiliki senyawa aktif yang dapat meracuni dan melumpuhkan hama yaitu berupa monoterpen dan fenol. Senyawa aktif ini telah terbukti memiliki aktivitas sebagai insektisida dan fungisida sehingga mampu mengusir dan menghambat setiap hama yang akan makan menyerang tanaman.
Peneliti Balitbangtan, Sri Yuliani mengatakan kendala utama dalam pengembangan pestisida nabati menggunakan bahan minyak atsiri adalah efektivitas dan stabilitasnya yang rendah dibandingkan pestisida berbahan baku kimia sehingga dalam aplikasi diperlukan jumlah yang banyak dan berulang.
Untuk meningkatkan efektivitas penggunaan pestisida nabati diperlukan pengembangan teknologi formulasi, salah satunya melalui pendekatan nanoteknologi. “Biopestisida yang memiliki ukuran dalam nanometer akan memiliki luas permukaan yang sangat besar sehingga aktivitas kontak permukaan antara bahan biopestisida dengan target tanaman yang akan disemprot pestisida akan meningkat dan lebih reaktif sehingga penggunaan pestisida menjadi lebih efektif,” ujar Sri Yuliani.
Keunggulan lain biopestisida dalam ukuran nano adalah sifatnya yang lebih stabil. Hal tersebut karena bahan-bahan penyusun biopestisida seperti minyak sereh wangi, ekstrak tanaman dan bahan aditif lainnya yang terdispersi dalam air akan membentuk sistem emulsi yang transparan, tembus cahaya dan terstabilkan oleh lapisan film dari surfaktan dalam ukuran droplet nanoemulsi yang kecil berkisar 50 – 500 nm. Akibatnya komponen-komponen bioaktif dalam biopestisida menjadi stabil secara kinetik sehingga menghambat pembentukan sedimentasi dan kriming selama penyimpanan. Selain itu nanobiopestisida lebih mudah larut dalam air.
Cara pemakaiannya dengan cara menyemprotkan cairan nanobiopestisida ke bagian pangkal batang tanaman padi sampai dengan ketinggian 10 cm di atas permukaan tanah tempat serangga hinggap. Hasil uji coba aplikasi menunjukkan bahwa nanobiopestisida berbasis nanoemulsi minyak sereh wangi memiliki mortalitas terhadap wereng cokelat sebesar 77 – 100% dengan dosis konsentrasi pemberian 10 – 100%. (EGA)