Kehilangan Pascapanen Cabai Harus Ditekan

Technology-Indonesia.com – Cabai merupakan salah satu komoditas sayuran strategis. Selama musim tertentu, harga cabai meningkat secara signifikan dan seringkali berdampak pada tingkat inflasi. Fluktuasi harga cabai juga terjadi setiap tahun.
Peneliti Balai Besar Pascapanen Pertanian, Siti M Widayanti mengatakan kebutuhan masyarakat Indonesia akan cabai relatif tinggi, terutama saat perayaan hari besar keagamaan. Kebutuhan cabai di kota besar dengan populasi satu juta atau lebih sekitar 800.000 ton/tahun atau 66.000 ton/bulan. Kebutuhan tersebut akan naik sekitar 10-20% dari kondisi normal saat perayaan hari raya keagamaan.
“Tingkat produktivitas cabai secara nasional selama lima tahun terakhir adalah sekitar 6 ton/hektar. Pada tahun 2016 volume produksi cabai nasional mencapai 1.045.000 ton. Produksi ini melebihi total konsumsi sekitar 760.000 ton,” ungkap Siti Widayanti pada Focus Group Discussion “Upaya Penekanan Kehilangan Pascapanen Cabai” di Magelang pada Selasa (20/2/2018).
Diskusi yang diselenggarakan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian ini bertujuan membahas upaya penekanan kehilangan pascapanen cabai, dengan cara menggali informasi kehilangan pascapanen (post-harvestlosses/PHL) cabai terkait kebijakan pemerintah dan kondisi PHL cabai  di masing-masing titik rantai pasok cabai.
Menurut Widayanti, fluktuasi harga cabai yang kerap terjadi diduga disebabkan karena terjadinya penurunan ketersediaan di pasar akibat penanganan pascapanen yang belum tepat sehingga kehilangan hasil tinggi. Fluktuasi harga cabai juga disebabkan karena sebaran panen yang tidak merata, dan terjadinya serangan hama/penyakit yang menyebabkan gagal panen dan kondisi cuaca yang tidak terduga.
“Untuk Indonesia, salah satu kehilangan hasil produk pertanian terbesar adalah untuk komoditas hortikultura yang mencapai lebih dari 20% dari total produksi. Besarnya kehilangan hasil ini tentunya berdampak pada ketersediaan bahan pangan bagi masyarakat Indonesia yang pada akhirnya akan mempengaruhi ketahanan pangan nasional,” terang Widayanti.
Kehilangan pascapanen cabai bisa berupa susut fisik dan susut mutu. Susut fisik antara lain karena serangan hama/penyakit seperti terkena antrachnosa, dan terjadi pembusukan. Susut fisik juga bisa terjadi karena cabai rusak seperti patah akibat penanganan pascapanen yang belum tepat, contohnya kemasan yang digunakan kurang baik, maupun kerusakan akibat transportasi.
Sementara susut mutu bisa terjadi karena pemanenan cabai di usia masih muda.  Panen cabai merah terbaik adalah saat warna merah minimal 50 persen. Jika pemanenan dilakukan kurang dari itu, harga jual akan turun. “Susut mutu juga terjadi karena umur simpan yang sudah lama sehingga cabai menjadi kurang segar akibat lingkungan penyimpanan yang kurang tepat,” lanjutnya.
Penanganan pascapanen cabai yang baik sesuai  GHP (Good Handling Practices), antara lain pemanenan cabai dilakukan pada umur optimum dan cabai yang dipanen tidak terserang penyakit.
“Pemanenan sebaiknya dilakukan pada pagi hari untuk mengurangi suhu lapang. Tempat penampungan cabai di lapang harus menggunakan wadah yang tidak menimbulkan kerusakan contohnya ember/wadah dari plastik dengan permukaan tidak kasar,” ungkap Widayanti.
Selanjutnya, cabai dimasukkan ke dalam kemasan seperti karung plastik/kardus/krat plastik sesuai kapasitasnya dan tidak dipadatkan. Gunakan juga moda transportasi yang sesuai, tergantung jarak pengiriman. Misalnya sepeda motor jika jumlahnya tidak banyak dan jaraknya dekat atau truk/kendaraan roda empat pada malam hari. Dapat juga menggunakan mobil berpendingin jika ditransportasikan jarak jauh.
FGD ini merupakan bagian dari kegiatan pilot Reduction of Postharvest Losses for Agricultural Produces and Product, yang diprakarsai oleh sepuluh Negara ASEAN, yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Philipina, Vietnam, Laos, Kamboja, Myanmar, Brunei Darusalam dan didanai oleh Japan ASEAN Integration Fund (JAIF). Kegiatan ini merupakan proyek penelitian yang dilatarbelakangi kesadaran bahwa kehilangan hasil produk pertanian di dunia masih sangat tinggi, tidak terkecuali di Negara-negara ASEAN.
Indonesia mendapat mandat untuk menjadi salah satu negara yang melaksanakan kegiatan pilot bersama Vietnam dan Thailand dalam mengurangi kehilangan hasil produk pertanian di kawasan negara-negara ASEAN.
Cabai terpilih sebagai komoditas yang menurut kriteria mendapat nilai tertinggi saat didiskusikan di Bogor bulan November 2017. Kota Magelang dipilih menjadi tempat kegiatan pilot berdasarkan kriteria-kriteria tertentu dan ditetapkan sebagai daerah yang mewakili “wajah per-cabai-an Indonesia”.
Melalui diskusi yang diikuti oleh para petani cabai, pengumpul, pedagang besar, pasar induk, akademisi dan pihak pemerintah ini diharapkan dapat tersusun informasi rantai pasok cabai khususnya dari sentra produksi Magelang sampai konsumen.
“Selain itu diharapkan dapat diperoleh informasi tentang titik kritis rantai pasok yang menyebabkan terjadinya kehilangan hasil yang tinggi, serta teknologi penanganan cabai yang eksisting di petani selama ini,” pungkas Widayanti.
Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014). Buku terbarunya, Antologi Puisi Kuliner "Rempah Rindu Soto Ibu"
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author