Pembangunan Tanggul Raksasa, Solusi Tanpa Reklamasi

alt
 
Jakarta, Technology Indonesia – Proyek Reklamasi Teluk Jakarta menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Reklamasi yang didasari Keppres No. 52/1995 ini, awalnya bertujuan memperbaiki kualitas pesisir utara Jakarta yang rusak karena masalah lingkungan akibat sedimentasi dan abrasi. Namun pada perkembangannya, pemanfaatan wilayah hasil reklamasi bergeser untuk kepentingan pemukiman (coastal development).
 
John Wirawan berpendapat persoalan ini sebenarnya dapat diatasi dengan konsep lama yang telah ditawarkan kepada pemerintah sejak 1997. Konsep tersebut adalah pembangunan dinding tanggul raksasa di depan Teluk Jakarta atau Giant Seawall. Dengan pembangunan tanggul raksasa, Presiden Direktur Ecolmantech Consutants ini optimis masalah akan selesai tanpa perlu reklamasi.
 
“Dengan pembangunan Giant Seawall maka laut Jawa akan dipisahkan dengan bibir pantai, sehingga laut akan terpisah dengan daratan. Akibatnya, air sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta tidak akan langsung masuk ke laut. Air sungai akan ditampung danau raksasa yang terbentuk akibat berdirinya tanggul raksasa tersebut,” papar John Wirawan dalam presentasi dan diskusi bertajuk “Giant seawall pantai utara jawa sebagai solusi menyeluruh tanpa reklamasi” di Jakarta, Selasa (28/2/2017).
 
Tinggi permukaan air danau ini akan diatur lebih rendah lima meter dari daratan pantai utara Jakarta. Hal ini mengakibatkan air sungai lebih cepat mengalir ke danau raksasa seluas ± 17.669 Ha. Danau ini dapat menampung air tawar untuk keperluan Jakarta sepanjang tahun.
 
“Dengan menurunnya ketinggian air di sepanjang pantai, maka akan terbentuk daratan seluas ± 7.000 Ha. Daratan baru ini lebih luas dari pulau-pulau yang terbentuk dengan cara pengurugan melalui proses reklamasi yaitu 3.800 hektar,” terang John.
 
Pembangunan tanggul raksasa juga akan menyebabkan Pemerintah DKI Jakarta mendapatkan penghasilan secara langsung dari para pengembang tanpa harus melakukan pinjaman. “Pembangunan ini diupayakan tidak menggunakan APBD atau APBN. Bahkan DKI bisa mempunyai dana Rp.100 triliun, sebab untuk membangun 17 pulau, pengembang harus merogoh kocek sebesar Rp.132 trilyun,” terangnya. 
 
Menurut perhitungan John, dari Rp.132 triliun pengembang tetap mendapatkan 3.800 hektar dengan nilai Rp.100 triliun. “Pengembang pasti mau karena lebih murah Rp.32 triliun. Dana itu bisa dipakai untuk membereskan yang ada dan membangun tanggul pantai yang nilainya 23 triliun dengan harga rate 1 meter kubik 400 ribu,” ungkapnya. 
 
Penghasilan tersebut, lanjut John, juga bisa digunakan untuk proses revitalisasi dan restorasi pantai utara Teluk Jakarta. Serta membantu masyarakat miskin untuk diberi tempat tinggal yang lebih layak disertai daya dukung kehidupan yang sangat baik.
 
Keuntungan lainnya, melalui pembangunan tanggul raksasa akan terbentuk hutan bakau di lepas pantai dalam skala besar sehingga larutan nutrisi dan mineral dari air darat (tanpa sedimen) dapat meningkatkan pertumbuhan biota laut dan terumbu karang. Kondisi tersebut, pada akhirnya akan meningkatkan populasi ikan selaras membaiknya lingkungan pantai akibat pengurangan kadar logam berat.
 
Selain itu, Jakarta akan terbebas dari banjir selamanya karena air dari darat akan mengalir secara deras ke danau raksasa akibat selisih ketinggian 5 meter antara daratan dan danau. Perbedaan ketinggian ini dapat dimanfaatkan menjadi pembangkit hydro sekala besar di beberapa tempat sepanjang 40 km. Selain itu penggunaan pompa air sangat sedikit dan akan lebih efisien.
 
John optimis solusi pembangunan tanggul raksasa ini akan menjadi win-win solution untuk semua pihak. Kontrak pemerintah DKI Jakarta dengan para pengembang dapat tetap dilanjutkan dengan memberikan lahan seluas 3.800 hektar. Lahan ini dapat dimanfaatkan oleh pengembang untuk membangun pemukiman baru, tanpa harus mengambil material urug sebesar 330 juta meter kubik dari tempat lain yang menyebabkan kerusakan lingkungan.
 
“Sementara itu, para nelayan tidak perlu dipindahkan karena masih tersedia lahan yang cukup luas untuk pemukiman. Dengan demikian tidak akan menimbulkan problem sosial dan ekonomi karena rakyat tidak akan dicabut akarnya dengan cara dipindahkan,” pungkasnya.
 
Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author