Jakarta – Pertumbuhan kebutuhan energi yang terus meningkat rata-rata tujuh persen pertahun belum diimbangi dengan suplai energi yang cukup. Ketergantungan terhadap energi fosil khususnya minyak bumi masih tinggi sedangkan cadangannya semakin terbatas dan harganya sangat berfluktuasi.
“Produksi minyak bumi menurun, sementara konsumsi BBM meningkat. Hal ini yang menyebabkan impor BBM pun terus meningkat. Bahkan cenderung melemahkan nilai tukar rupiah” ungkap Deputi Bidang Teknologi Informasi Energi dan Material BPPT, Eniya L. Dewi dalam “Dialog Nasional Biofuel” di Jakarta, Selasa 25/9/2018.
Besarnya subsidi BBM selama ini, kata Eniya, berdampak negatif pada neraca perdagangan dan neraca pembayaran. “Nilai subsidi tersebut seharusnya dapat digunakan untuk pembiayaan pembangunan lainnya seperti pembangunan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan, dan lain lain,” ujarnya.
Konsumsi BBM pada 2016 tercatat 73,56 juta kiloliter (kl) dari tahun sebelumnya. Berdasarkan data Pengatur Hilir Migas dan Gas Bumi (BPH Migas), jumlah tersebut terdiri dari konsumsi Jenis BBM Umum (JBU) mencapai 48,66 juta kl, Jenis BBM Tertentu (JBT) 14,28 juta kl, dan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) sebanyak 10,62 juta kl. Sementara data sementara 2017, konsumsi BBM mencapai 34,11 juta liter yang terdiri dari JBU sebanyak 21,28 juta kl, JBT 8,4 juta liter, JBKP sebanyak 4,4 juta kl.
Jika hal ini berlanjut, diperkirakan pada 2025 dari total kebutuhan 2,2 juta barrel/hari, maka sekitar 1,75 juta barel/hari mengandalkan impor (data Rencana Umum Energi Nasional). Hal ini berdampak ekspor devisa hingga Rp 630 T pertahun. “Tren impor akan terus meningkat jika tidak segera diambil langkah kebijakan mengurangi konsumsi BBM,” ujar Eniya.
Foto : Jadiberita