Jakarta, Technology-Indonesia.com – Pakar gempa dan tsunami Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memaparkan analisis ilmiah mengenai gempa dan tsunami di Indonesia. Analisis ini terkait gempa berkekuatan magnitudo 7,4 yang mengguncang Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, pada Jumat (28/9/2018).
Gempa tersebut menyebabkan gelombang tsunami di Pantai Palu dengan ketinggian 0,5 sampai 1,5 meter, di Pantai Donggala kurang dari 50 sentimeter, dan Pantai Mamuju dengan ketinggian 6 sentimeter. Catatan sementara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan 844 korban meninggal dunia dalam bencana tersebut.
Indonesia menjadi pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Indonesia juga terletak di kawasan sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, hingga Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa.
Fakta ini harus diyakini agar masyarakat Indonesia siap menghadapi segala kemungkinan bencana. Yang terpenting adalah mempersiapkan masyarakat agar selalu siaga melalui penyadaran publik mengenai mitigasi bencana, salah satunya lewat publikasi temuan ilmiah tentang kebencanaan.
Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Eko Yulianto menyebutkan sampai saat ini belum ada satu pun teknologi di dunia yang mampu secara akurat dan presisi memprediksi kapan datangnya bencana, terutama gempa bumi. “Jika ada pendapat yang menyatakan mampu memprediksi kapan terjadi gempa bumi beserta kekuatan magnitudonya, bisa dipastikan itu adalah hoax,” jelas Eko dalam Media Briefing “Analisis LIPI untuk Gempa dan Tsunami Indonesia” pada Selasa (2/10/2018) di Media Center LIPI, Jakarta.
Terkait gempa dan tsunami Palu, Eko mengungkapkan letak Palu berada di atas sesar Palu Koro. Sesar Palu Koro merupakan patahan yang membelah Sulawesi menjadi dua bagian barat dan timur.
“Sesar ini mempunyai pergerakan aktif dan jadi perhatian para peneliti geologi,” ujar Eko. Karena itu, fakta ini seharusnya menjadikan kesiapsiagaan dan kewaspadaan bencana menjadi perhatian agar dampak buruk dapat diminimalisir.
Pakar kegempaan LIPI, Danny Hilman Natawidaja mengungkapkan, ada detail-detail fenomena alam yang membuat gempa dan tsunami Palu patut mendapat perhatian. “Ada tsunami yang justru terjadi di mekanisme pergerakan struktur sesar mendatar juga likuifaksi tanah,” terang Danny.
Menurut Danny, ada kondisi-kondisi tertentu di Palu yang membuat hal itu terjadi. Meskipun bukan kejadian pertama, namun hal ini perlu mendapat perhatian serius. Danny meminta agar sumber-sumber pengetahuan mengenai kegempaan ditingkatkan. “Juga pengetahuan mitigasi bencana harus diperhatikan secara serius,” ungkapnya.
Peneliti bidang geofisika kelautan dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Nugroho Dwi Hananto menyebutkan adanya kemungkinan sesar mendatar Palu Koro yang memiliki komponen deformasi vertikal di dasar laut memicu terjadinya tsunami.
“Kawasan Teluk Palu hingga Donggala juga mempunyai bentuk mirip kanal tertutup dengan bentuk dasar laut yang curam. Akibatnya, jika ada massa air laut datang, gelombangnya lebih tinggi dan kecepatannya lebih cepat,” jelas Nugroho.
Nugroho mencatat kemungkinan longsor bawah laut akibat tebih bawah laut runtuh akibat gempa. “Gempa dan tsunami Palu menjadi pelajaran penting perlunya data geo-sains yang lebih lengkap untuk bisa mengkaji potensi terjadinya gempa yang sumbernya berasal dari bawah laut,” pungkasnya.