Lapisan Es Abadi Puncak Jaya Papua Diteliti, Ungkap Perubahan Iklim

PapuaJakarta : Bagaimana dan mulai kapan terjadi perubahan iklim agaknya masih menjadi misteri berbagai kalangan di dunia. Selama ini hanya dicermati dampak perubahan iklim yang dirasakan masyarakat seluruh penjuru dunia.

 Adalah Professor Lonnie Thompson, peneliti  Byrd Polar Research Center (BPRC) – The Ohio State University (OSU) Ice Core Paleoclimatology Research Group (ICRPG) yang juga pakar gletser, mencoba mengungkapkan rekaman perubahan iklim melalui penelitian lapisan es abadi di beberapa pegunungan tinggi dunia.

 Lonnie Thompson, yang pernah memimpin ekspedisi serupa di Antartika, Cina dan puncak-puncak salju di Peru dan Amerika Latin, kini memimpin ekspedisi penelitian lapisan es abadi di Puncak Jaya, Papua. Bekerjasama dengan peneliti Lamont Doherty Earth Observatory of Columbia University (LDEO), New York, serta peneliti Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

 “Rekaman kondisi lingkungan masa lalu, seperti suhu, dan zat kimia udara tersimpan dalam lapisan dari inti es. Inti es yang diperoleh dari gletser atau tutupan es di seluruh dunia memungkinkan para ilmuwan merekonstruksi variasi iklim masa lalu dan memahami perubahan iklim,” paparnya dalam Launching of Reearch Program on Climate History in Puncak Jaya, Papua di kantor BMKG Jakarta, Selasa sore (18/5).

 Partikel-partikel yang terperangkap di dalam material es, kata Thompson, juga mengandung sejumlah informasi mengenai keadaan flora dan fauna di masa lalu,  termasuk kejadian alam seperti letusan gunung, kebakaran hutan, atau bahkan peristiwa bom atom.

Rentang waktu perubahan iklim yang terekam dalam inti es cukup panjang. Menurut Thompson, dalam penelitian di Pegunungan Andes di Peru, panjang inti es sekitar 50 meter mampu merekam peristiwa 11.000 tahun lalu. “Di Puncak Jaya, kami perkirakan mampu mengambil inti es sepanjang 30 meter, sehingga dapat diketahui perubahan iklim  5 hingga 6 ribu tahun lalu,” ujarnya.

Keberadaan es di daerah tropis, kata dia, merupakan hal yang unik, karena hanya terdapat 3 puncak gunung di dearah tropis yang diselimuti lapisan es secara permanen, yaitu Gunung Kilimanjaro di Tanzania (5896 m dpl), pegunungan Andes di Peru (6962 m dpl), dan Puncak Jaya (4884 m dpl) di Papua.

Gletser dekat Puncak Jaya terletak pada daerah sensitif terhadap iklim yang disebut “pusat aksi”, yaitu di sebelah barat kolam hangat Pasifik. Rekaman iklim masa lalu yang diperoleh dari gletser dekat Puncak Jaya akan diintergrasikan dengan rekaman iklim dari gletser di Pegunungan Andes Amerika Selatan di bagian Timur Samudera Pasifik. Kompilasi baru ini akan memberikan kesempatan langka untuk menggunakan rekaman inti es dalam mengungkapkan varialibiltas iklim tropis secara detil.

Sementara itu, R. Dwi Susanto, PhD, peneliti dan juga Direktur Penelitian untuk Indonesia dari Lamont Doherty Earth Observatory of Columbia University (LDEO), New York mengatakan penelitian dilakukan melalui analisis isotop unsur-unsur yang terkandung dalam es (hydrogen dan oksigen). Sedangkan curah hujan yang terbentuk turut dipengaruhi kondisi temperature di Pasifik yang dikenal dengan El Nino dan La Nina (El Nino Southern Oscillation). Fenomena El Nino dapat dipantau melalui penyimpangan (anomaly) suhu permukaan laut (SST) di kawasan Samudera Pasifik.

Selain itu, variabilitas debit arus lintas Indonesia (Arlindo) juga dipengaruhi ENSO. “Sehingga lapisan es di Pucak Jaya dan Pengunungan Andes dapat digunakan sebagai proxy atau alat ukur variabilitas Airlindo,” ujarnya.

Kepala BMKG Sri Woro B. Harijno mengatakan kajian di Puncak Jaya Papua akan dilaksanakan minggu ini. “Ekspedisi ilmiah Puncak Jaya merupakan satu-satunya kajian sejarah perubahan iklim di wilayah Indonesia,” ujarnya.

”Lapisan es mempunyai kemampuan diri untuk mencatat perjalanan sejarah perubahan tersebut. Satu-satunya database alam yang kita miliki adalah catatan sejarah tentang perubahan iklim di Indonesia dan sekitarnya yang tersimpan di dalam es abadi di Puncak Jaya,” ujarnya.

Sementara itu, lanjut Sri Woro, laboratorium pusat-pusat penelitian di Indonesia, baik perguruan tinggi mapun lembaga penelitian nasioal lainnya, belum memiliki kemampuan secara khusus untuk melakukan analisis perubahan iklim terhadap inti es.

BMKG juga akan memasang alat pemantau ketebalan es dilengkapi dengan pengamatan  meteorolosi dengan Automatic Weather Station (AWS) di Puncak Jaya, dan merupakan stasiun pemantau tertinggi yang dimiliki Indonesia.

Kerjasama penelitian mendapat dukungan PT Freeport yang memberikan bantuan logistik serta sistem pengeboran (bawah) meliputi 700 meter kabel dan unit pengendali untuk memperoleh bagian inti es sepanjang 1 meter dengan diameter 100 mm.

Sedangkan, inti es yang diperoleh akan disimpan di fasilitas ICPRG (Ice Core Paleoclimatology Research Group) di BPRC-The Ohio State University. Fasilitas penyimpanan meliputi ruangan cold storage freezer berisi dua kompartemen dengan suhu ruangan minus 30 derajat celcius, yang dapat menampung sekitar 7000 m inti es, sedangkan pemotongan sampel inti es dilakukan dalam 2 ruang pendingin (minus 10 derajat Celcius). (Lea)

 

You May Also Like

More From Author