Kementerian Riset dan Teknologi bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Banyumas, hari ini, meluncurkan dua unit percontohan Instalasi Pengolah Limbah (IPAL). Peralatan ini dikembangkan dan dipasang di dua kawasan sentra industri kecil tahu di Purwokerto,yakni Desa Kalisari dan Desa Ciroyom.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program pengendalian dampak perubahan iklim Kementerian Riset dan Teknologi.
Asisten Deputi Analisis Kebutuhan Iptek Kementerian Ristek Eddy Prihantoro mengatakan, industri tahu merupakan penyumbang emisi yang signifikan di Indonesia. Di Indonesia terdapat sekitar 84.000 unit usaha industri tahu dengan kapasitas produksi lebih dari 2,56 juta ton per tahun. Keseluruhan industri tahu tersebut menghasilkan limbah cair sebanyak 20 jupata meter kubik per tahun dan emisi sekitar 1 juta ton CO2 ekivalen per tahun.
Dikatakan Eddy, sekitar 80 persen industri tahu tersebut ada di Pulau Jawa. Dengan demikian, setiap tahunnya industri tahu di Jawa menghasilkan emisi 0,8 juta ton CO2 ekivalen.
Di Desa Kalisari sendiri terdapat 312 unit usaha tahu dengan kapasitas produksi 7,5 ton per hari. Sementara di Desa Ciroyom terdapat 317 unit usaha tahu dengan kapasitas produksi 6 juta ton/hari.
Selain persoalan emisi, khusus di Desa Kalisari dan Desa Ciroyom, limbah cair industri tahu juga menimbulkan dampak negatif pada persawahan dan peternakan ikan. “Bulir padi puso atau kosong dan membuat ikan-ikan mati,” kata Kepala Desa Ciroyom Bambang Widodo.
Hal tersebut karena limbah tahu dialirkan langsung ke persawahan. tanpa pengolahan terlebih dulu ke selokan. Padahal limbah tahu memiliki keasaman, COD dan BOD tinggi. Yakni memiliki pH 4-5, dan COD dan BOD mencapai 10.000 – 15.000mg/liter . Kondisi ini membuat ikan kekurangan oksigen dan mati.
Sementara, limbah tahu yang dibiarkan begitu saja akan menghasilkan gas metan. Kondisi ini menyebabkan unsur hara di dalam tanah menjadi tidak seimbang. Ketidakseimbangan ini menjelaskan mengapa bulir padi menjadi puso atau kosong.
Unit percontohan IPAL yang dikembangkan di Desa Kalisari memiliki kapasitas mengolah limbah tahu sebanyak 20 meter kubik per hari atau setara dengan 1.200 kg kedelai/hari (untuk 20 pengrajin industri tahu). Sementara unit pengolah limbah di Desa Ciroyom memiliki kapasitas sebesar 5 m3 atau setara dengan 300 kg kedelai/hari (untuk 5 pengrajin industri tahu).
Pengolah limbah tersebut dibangun dengan sistem anerobik, yakni menggunakan mikroba untuk mendegradasi keasaman dan COD. Selain juga terdapat proses metanogenesis dan hidrolisis. Penernakan mikroba dilakukan dengan memanfaatkan kotoran sapi dan potongan-potongan bambu sebagai ‘rumah’ bagi mikroba.
Pengolahan limbah tahu sebanyak 20 meter kubik per hari tersebut menghasilkan biogas dan air. Biogas yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk keperluan memasak oleh 21 Rumahtangga, sementara air digunakan untuk empang.
Menurut Eddy, dengan menggunakan biogas tersebut, ke-21 rumah tangga tersebut setidaknya dapat menghemat biaya rumahtangga sekitar Rp10.000 hingga Rp15.000 per hari, karena tak perlu lagi mengeluarkan uang untuk membeli bahan bakar untuk kompor. Bupati Banyumas Marjoko, juga berharap kehadiran IPAL dapat meningkatkan kesejahteraan warga Desa Kalisari dan Ciroyom.
Eddy berharap prototip IPAL yang dikembangkan Kementerian Ristek di Desa Kalisari dan Desa Ciroyom ini dapat direplikasi oleh Pemkab Banyumas untuk sentra-sentra industri tahu lainnya di wilayah itu dan juga oleh pemerintah daerah lainnya. (dra)