Belum genap satu bulan gempa melanda selatan Jawa Barat, guncangan tanah ini kembali terjadi di wilayah negeri kepulauan ini. Kali ini, giliran kawasan barat Sumatera Barat. Gempa terjadi di akhir September (30/9), pada Rabu petang, tepatnya pukul 17.16.09 WIB. Sumber gempa yang berpusat di pesisisr Padang dekat Kepulauan Mentawai itu jaraknya 57 km barat daya Pariaman.
Getaran permukaan bumi yang kuat itu menurut informasi Badan Klimatologi, Meteorologi dan Geofisika, kekuatannya mencapai 7,6 skala richter, namun tidak berpotensi tsunami. Tidak hanya warga kota Padang, guncangan gempa juga dirasakan masyarakat Medan, bahkan hingga Singapura.
Gempa yang terjadi di Sumatera termasuk di segmen Mentawai itu mempunyai siklus 200 tahunan. Hal ini disampaikan oleh pakar geologi di Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Danny Hilman Natawidjaja, “Segmen Mentawai saat ini sudah memasuki siklus 200 tahunannya. Namun, gempa 7,6 SR yang berpusat di pesisir barat Padang tidak bersumber di segmen itu.”
Sejarah telah mencatat, gempa yang berpusat di Mentawai pernah terjadi pada tahun 1650 dan 1833 yang menimbulkan tsunami sekitar 10 meter di pantai Padang. Gempa di Padang itu tidak berpusat di zona pertemuan lempeng tektonik Indo-Australia dan Eurasia yang menujam namun relatif mendatar, sehingga tidak sampai memicu gelombang besar tsunami. Kendati demikian, Danny tetap mengingatkan kemungkinan terjadi gempa kembali. “Dampak dari gempa Padang ini dapat memicu aktivasi segmen subduksi dari pola gempa utama yang seharusnya 10 tahun lagi menjadi hanya 5 tahun lagi potensinya.”
Efek Gempa
Gempa kuat yang bersumber di Samudera Hindia itu ternyata mengusik kestabilan perbukitan di ranah minang ini dan bagian dari sesar Semangko yang membelah Pulau Sumatera dari Aceh hingga Lampung. Selang satu hari (1/10) muncul gempa yang bersumber di bagian sesar yang melintasi Jambi pada pukul 08.52.
Gempa berkekuatan 7,0 SR ini berpusat 46 km tenggara Sungaipenuh berjarak 54 km Mukomuko, Bengkulu. Sedangkan di beberapa wilayah di Sumatera Barat, terjadi longsoran yang menimbun perumahan penduduk, termasuk jalan-jalan penghubung antar wilayah, hingga kawasan yang porakporanda akibat gempa terisolir.
Dibandingkan gempa di Jambi, gempa di Sumatera Barat lebih banyak menarik perhatian karena banyaknya korban jiwa, mencapai 807 orang. Sedangkan yang luka berat 891 orang, dan korban luka ringan 1.365 orang . Sekitar 241 orang masih dinyatakan hilang. Kerugian harta benda pun tergolong besar, karena ada ribuan banguan rusak, termasuk hotel, rumah sakit, perkantoran, pusat perbelanjaan , serta fasilitas publik lainnya.
Tanggap darurat
Semua pihak terkait kebencanaan, mulai dari lembaga pemerintah, swasta, LSM, hingga relawan baik dari dalam dan luar negeri tergerak untuk mengulurkan bantuannya dalam masa tanggap darurat bencana di daerah itu. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) diantaranya mengirimkan tim khusus ke Sumatra Barat yang bertujuan melakukan pemetaan cepat (quick mapping) kerusakan akibat gempa. Bantuan peta dalam skala besar ini dan hasil survei ke lapangan diperlukan untuk mengindentifikasi lokasi kerusakan dan membantu perencanaan rekonstruksi pascagempa.
Dalam masa tanggap darurat, peran Badan Search and Rescue Nasional tentulah sangat diperlukan untuk membantu penyelamatan para korban yang masih tertimbun puing bangunan dan longsoran tanah. Untuk itu Basarnas antara lain mengoperasikan sarana yang disebut detektor kehidupan (life detector) untuk pencarian korban di lokasi bangunan yang tertimbun.
Alat ini sebelumnya digunakan untuk mencari korban tertimbun longsoran di Tasikmalaya dan Cianjur. “Selama sembilan hari, alat tersebut berhasil menyelamatkan tiga orang dari dalam rumah yang tertimbun tanah longsor,” jelas Instruktur Senior Basarnas, Emi Frizer.
Upaya antisipatif
Dengan introduksi alat ini penanganan dampak kebencanaan menjadi selangkah lebih maju. Namun menghadapi kebencanaan kita memang tidak hanya terfokus pada langkah-langkah yang bersifat responsif. Diperlukan upaya pencegahan untuk mengurangi resiko bencana apapun yang potensial di tiap daerah, terutama gempa besar.
Ada serangkaian upaya yang bisa dilakukan pemerintah dan penduduk di daerah rawan bencana. Kewajiban pemerintah misalnya menetapkan tata ruang wilayah yang baik dan daerah yang aman dari ancaman bahaya tersebut dan mengeluarkan larangan dan pengawasan pembangunan rumah di kawasan lereng atau perbukitan yang mudah longsor. Menyosialisasikan konstruksi rumah tahan gempa dan melakukan pengawasan saat pembangunannya.
Dengan langkah ini korban jiwa dan harta benda karena guncangan gempa merusak dapat direduksi seminimal mungkin. Karena harus diakui, hingga saat ini, gempa belum dapat memperkirakan lokasi, waktu dan intensitasnya secara tepat. Bencana gempa yang kerap terjadi akhir-akhir inihendaknya menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak agar lebih maksimal dalam mengantisipasi dan menanggulanginya di masa depan. (Lea)
Lihat Video