KLIBS Usung Anastesi Lokal untuk Bantu Orang Miskin

KLIBSDunia kedokteran sudah lama mengenal  anastesi lokal atau bius lokal. Namun penerapan bius lokal pada umumnya hanya dilakukan pada kasus-kasus operasi atau pembedahan ringan. Contoh bius lokal yang sangat dikenal masyarakat adalah khitan atau sunat.

Sebaliknya suatu general anastesi atau bius total tergolong operasi besar karena konsekuensinya bisa berisiko besar seperti terhentinya kerja jantung, atau pernafasan hingga kematian.

Persiapan kedua tindakan medis tersebut juga sangat berbeda jauh. Jika general anastesi atau pembiusan umum harus melalui pemeriksaan lengkap. Hal itu dilakukan untuk melihat apakah pembiusan umum layak dilakukan atau tidak. Sebaliknya anastesi lokal tidak harus menanggung beban moral dan materi seperti biaya operasi, pembiusan, ruang pulih sadar, ruangan pascaoperasi, pemeriksaan lababoratorium untuk keperluan pembiusan.

Menjadi pertanyaan tersendiri apakah tindakan pembedahan besar bisa dilakukan hanya dengan anastesi lokal? Misalnya apakah kanker payudara bisa dilakukan dengan bius lokal? Jawabannya bisa.  Tidak hanya itu anastesi lokal paling aman untuk penderita muda sampai lanjut usia dan aman bagi penderita kelainan jantung, paru-paru, otak, vaskuler dan lever atau hati .

Itulah yang dilakukan di Klinik Bedah Surabaya (KLIBS).Klinik ini khusus memberikan layanan bedah  berbeda dari rumah sakit yang biasa melakukan operasi. Pembedahan atau operasi bedah yang dilakukan di KLIBS hanya menggunakan anastesi lokal. KLIBS ingin memberikan solusi dengan mengembangkan anastesi lokal atau bius lokal dan field block untuk operasi kecil, sedang dan operasi besar  tanpa mengubah teknik operasi yang sudah ditetapkan dalam buku standar profesi bedah.

Bius lokal menurut pemilik KLIBS dr H.Wigid Dwidjatmoko, Sp.B, FlnaCS sangat membantu pasien yang membutuhkan pembedahan namun tidak punya cukup biaya. Wigid mengatakan dari mulai proses sebelum pembedahan hingga akhir pembedahan tidak membutuhkan biaya besar.

“Setelah operasi yang memakan waktu satu sampai tiga jam (tergantung berat ringan penyakit yang diderita), pasien dengan senyum lebar bisa langsung pulang. Jadi tidak perlu rawat inap lagi karena pasiennya tidak harus dipulihkan kondisinya,” ungkap Wigid.

Salah satu kelebihan bius lokal lagi menurut dokter bedah yang pernah menjadi PNS selama 15 tahun ini karena imunitas pasien lebih stabil. Selain itu biaya dengan bius lokal biaya bisa ditekan jauh lebih murah seperti minimnya penggunaan infus bahkan bisa disebut tanpa infus.

“Penggunaan infus untuk mengantisipasi risiko yang ditimbulkan dari bius total, sementara bius lokal risikonya sangat minimal sehingga tidak memerlukan infus. Namun di KLIBS emergency kit yang ada infusnya juga tersedia untuk sewaktu-waktu diperlukan,”  jelas Wigid yang mendirikan KLIBS pada 2004 ini.

Cara bius lokal yang ditempuh KLIBS bagi dunia kedokteran  tidak banyak atau bahkan tidak dilakukan oleh rumah sakit atau dokter bedah kebanyakan.   Wigid juga mengatakan bius lokal kurang berkembang dibanding pembiusan umum di Indonesia.

“Ini menyangkut banyak hal sehingga bius lokal tidak didukung perkembangannya seperti bisnis rumah sakit yang memberikan layanan pembiusan umum. Padahal bius lokal adalah ilmu bedah paling lama di dunia kedokteran dan sangat bermanfaat. Bahkan saya yang ingin mendalami bius lokal ini tidak tahu harus belajar kemana. Karena sejak di perkuliahan kedokteran tidak ada kurikulumnya memperdalam bius lokal. Ini tugas pemerintah untuk merealisasikan adanya kurikulum anastesi lokal,” ujar Wigid.

Meski demikian jika ada yang meragukan kerja profesionalnya, pria kelahiran Lumajang ini  berani menjamin bedah yang dilakukan di KLIBS sesuai standar kedokteran khususnya tindakan pembedahan. Sebenarnya ide pengembangan pemakaian anastesi lokal dan field block di KLIBS juga sudah sesuai dengan anjuran WHO terutama untuk Negara berkembang. Karena anastesi lokal punya banyak keuntungan.

“Tidak ada yang berbeda dengan yang dilakukan dokter bedah di rumah sakit lainnya. Saya melakukannya berdasarkan standar yang ditentukan misalnya tidak boleh putus (en block). Supaya tidak asal omong, saya mendokumentasikan hasil pembedahannya, agar bisa menjadi bukti apa yang saya lakukan,” terang Wigid sambil menunjukkan ratusan hasil foto saat atau usai operasi.

Disisi lain lulusan dokter bedah Universitas Airlangga tahun 1998 ini menyadari  meski pasien yang berhasil ditanganinya tak terhitung jumlahnya namun agar lebih banyak dokter bedah menggunakan cara anastesi lokal ini masih diperlukan penelitian lebih lanjut.

Kenyataan itu merupakan tembok tebal yang menghadang Wigid dalam menjalankan profesinya sekaligus ingin membantu sesama.  Tidak heran jika pria kelahiran 21 Juni 1960 ini mengaku hanya sendirian dalam menerapkan bius lokal untuk pembedahan di Surabaya.

“Teman-teman seprofesi saya semuanya tahu apa yang saya lakukan. Tapi mereka tidak bisa berbuat banyak, karena umumnya semua dokter bedah sudah didoktrin tidak mau melakukan bius lokal karena dikuatirkan tidak radikal atau tidak bersih, Saya sendiri sekarang kesulitan untuk mencari teman melakukan pembedahan seperti yang sudah saya lakukan selama ini,” tutur Wigid yang sejak remaja senang mengikuti lomba karya ilmiah.

Bagaimana dengan negara lain dalam hal menerapan bius lokal ini? Wigid menyebutkan bius lokal dilakukan dengan memberikan obat tidur sedatif. “Jadi di Negara lain bius lokal matanya tertidur, sementara di KLIBS mata pasien tetap terjaga,” cetus Wigid yang ingin menulis buku tentang bius lokal ini.

Dari foto-foto yang ditunjukkan memang terlihat mata pasien tidak tertidur saat operasi berlangsung. Setelah pembedahan selesai dilakukan pasien pun bisa langsung pulang.  Pasien diminta kembali oleh Wigid untuk kontrol.  Kontrol dan konsultasi yang diberikan Wigid juga tidak dipungut biaya. Itu sebabnya kocek yang dirogoh pasien di KLIBS sangat terjangkau kalangan ekonomi lemah.

KLIBS dengan kerja sosialnya itu  oleh  rekan sejawatnya diprediksi  tidak berumur panjang. Kenyataannya hingga kini pasien yang datang tetap banyak bahkan tidak hanya dari Surabaya saja tapi hampir seluruh Nusantara bahkan dari Australia dan Singapura.

Setiap hari KLIBS buka pukul 09.00 hingga 17.00. Hampir sebagian besar pasien KLIBS merupakan pasien penderita kanker payudara.  Selama KLIBS berdiri, pasien bedah  non kanker seperti gondok atau hernia  tingkat keberhasilan operasinya mencapai 100 persen. Sementara pasien kanker, kesembuhannya berdasarkan stadium yang diderita pasiennya.

Berapa sebenarnya biaya yang harus disiapkan pasien untuk pembedahan di KLIBS? Bapak tiga anak ini mengatakan biayanya jauh di bawah biaya operasi di rumah sakit biasa. “Misalnya jika biaya operasinya dibutuhkan sekitar Rp800 ribu, tapi pasien hanya punya Rp500 ribu, maka saya ijab kabulkan kekurangannya menjadi amal,” ucap dokter yang ingin sekali ada dokter lainnya yang meneruskan semangat membantu sesama.

Dalam perjalanannya KLIBS mengembangkan diri membentuk yayasan sosial. Yayasan ini diharapkan bisa menggalang dana dari pasien yang telah berhasil dioperasi KLIBS. Meski tidak berjalan mulus namun didukung tenaga 10 orang anggotanya, KLIBS justru menemukan cara lain dengan menemukan ladang profit aktivasi otak tengah atau Mesencephalon Activation.  Hasil dari masyarakat yang ingin mengaktifkan otak tengahnya sebagian akan disumbangkan kepada KLIBS untuk membantu pembedahan bagi masyarakat miskin.

“Betapa bahagianya bisa menolong, memberikan harapan hidup kepada masyarakat kecil. Saya melakukan ini semua karena ingat mati,” pungkas Wigid. ***

You May Also Like

More From Author