Karbon Biru (Blue Carbon) merupakan upaya mengurangi emisi karbondioksida dengan menjaga keberadaan hutan bakau, padang lamun, rumput laut, dan ekosistem pesisir. Vegetasi pesisir diyakini dapat menyimpan karbon 100 kali lebih cepat dan lebih permanen dibandingkan hutan di daratan.
“Tugas kita sekarang adalah menjaga coastal ekosystem (ekosistem pesisir) ini supaya tidak rusak, agar karbon yang diserap tidak lepas lagi. Pelepasan karbon akan menyebabkan terjadinya pengasaman air laut dan rusaknya kehidupan biologi,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) Achmad Poernomo dalam pembukaan Coastal Carbon Technical Workshop di Auditorium Gedung Balitbang KP2 Jakarta, Rabu (15/4).
“Untuk itu masyarakat harus diberi edukasi mengenai manfaat ekosistem laut, mulai dari penyangga kualitas perikanan, habitat berbagai organisme, pelindung pantai dari abrasi ombak dan lain-lain,” tambah Achmad.
Lokakarya ini menurut Achmad Poernomo merupakan tindak lanjut atau bagian dari sumbangsih Balitbang KP dalam mensukseskan target reduksi emisi karbon nasional hingga 20% pada 2020. “Kegiatan ini juga merupakan bagian dari upaya mendukung terimplementasinya visi pembangunan ekonomi hijau sebagaimana diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2020,” lanjutnya.
Lokakarya tersebut akan membahas posisi dan perkembangan terakhir tentang pengetahuan ilmiah potensi karbon wilayah pesisir Indonesia, peluang-peluang kebijakan, kapasitas kelembagaan dan upaya pemberdayaan komunitas dalam rangka mendukung dan memfasilitasi upaya-upaya pembangunan berkelanjutan berbasis karbon pesisir di Indonesia.
Karena melibatkan pakar dari lembaga nasional dan internasional, Achmad Poernomo berharap lokakarya ini dapat menghadirkan pengetahuan mutakhir, merekomendasikan peluang kebijakan, upaya peningkatan kapasitas lembaga, dan penguatan komunitas untuk mendukung program pembangunan berkelanjutan dan berdampak positif bagi ekonomi, sosial dan lingkungan nasional.
Konsep dan solusi litbang Karbon Biru pertama kali digaungkan pada Februari 2010 saat pertemuan “The UNEP Governing Council/Global Ministerial Environment Forum” di Bali oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dan Direktur UNEP. Menindaklanjuti pertemuan tersebut Balitbang KP pada 2010 melakukan penelitian karbon biru di Teluk Banten dan Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur.
Hasil penelitiannya, padang lamun memiliki potensi menyerap dan menyimpan karbon sekitar 4,88 ton/Ha/tahun. Total ekosistem padang lamun di Indonesia dapat menyimpan 16,11 juta ton karbon/tahun. Sementara rata-rata penyerapan dan penyimpanan karbon ekosistem mangrove sebesar 38,8 ton/Ha/tahun dengan keseluruhan potensi penyerapan karbon 122,22 juta ton/tahun.
“Dibandingkan dengan hutan di daratan, efektifitas penyerapan karbon dari coastal ecosystem lebih tinggi. Kemampuan menyerap karbon dunia, sepertiganya ada di Indonesia. Karena itu dukungan pemerintah terhadap coastal carbon sangat besar. Indonesia memiliki Blue Carbon Center. Apalagi ketika berbicara masalah blue economi, bagaimana memanfaatkan sumber daya laut dengan tetap menjaga keutuhannya tanpa melupakan kesejahteraan,” ungkap Ahmad Poernomo.
Lokakarya yang berlangsung selama dua hari (15-16 April 2015) terbagi menjadi tiga kelompok tematik. Kelompok pertama fokus membahas pada pemahaman dan pengetahuan ilmiah yang mutakhir tentang keragaman dan potensi pengurangan emisi karbon dari ekosistem pesisir Indonesia.
Kelompok kedua merupakan diskusi panel tingkat tinggi yang membahas soal kerangka legal dan regulasi yang diperlukan untuk menunjang dan mendukung upaya manajemen karbon pesisir. Diskusi juga membahas peluang melakukan reformasi kebijakan nasional maupun regional dalam pemanfaatan karbon pesisir untuk visi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Kelompok ketiga mendiskusikan persyaratan kapasitas kelembagaan dan mengeksplorasi mekanisme untuk memperkuat pemberdayaan komunitas dan menguatkan komitmen untuk mengadopsi pendekatan manajemen dan konservasi ekosistem berbasis karbon pesisir. Secara khusus, lokakarya akan juga membahas implementasi program dan model pemberdayaan komunitas yang sudah mapan dalam kerangka manajemen dan konservasi pesisir.
Selain para pakar lingkup Balibang KP, lokakarya menghadirkan pembicara dari Bank Dunia, REDD+, Bappenas, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, AIMS, Center for International Forestry Research (CIFOR), Conservation International, Yagasu Foundation, kalangan perguruan tinggi dan aktivis pembangunan lingkungan.