TechnologyIndonesia.id – Hingga kini, bawang merah dibudidayakan pada berbagai agroekosistem mulai dataran rendah hingga dataran tinggi. Sentra bawang merah di Jawa Tengah dan Jawa Timur mayoritas ada di dataran rendah. Sedangkan di Sumatera mayoritas ada di dataran tinggi.
Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan (ORPP), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Puji Lestari mengatakan komoditas bawang merah sangat signifikan dalam membantu perkembangan ekonomi di Indonesia. Harganya juga memegang peranan penting.
Karena masih terdapat kesenjangan hasil antara produktivitas di tingkat petani dengan potensi hasil, BRIN berupaya mencari solusi dan inovasi untuk meningkatkan produktivitas bawang merah.
Salah satunya melalui penerapan inovasi teknologi spesifik lokasi. Tujuannya untuk meningkatkan hasil pertanian, mengurangi biaya produksi, mengurangi risiko kegagalan panen akibat gradien faktor lingkungan, stres abiotik dan biotik dan juga untuk mendukung pertanian berkelanjutan.
Kepala Pusat Riset Hortikultura (PRH)-ORPP-BRIN, Dwinita Wikan Utami mengungkapkan bahwa bawang merah merupakan salah satu komoditas prioritas utama pada tanaman hortikultura karena memiliki kesesuaian atau adaptasi yang lebih luas, sehingga mampu beradaptasi pada ekosistem dataran rendah atau dataran tinggi.
Namun, masih terdapat senjang hasil yang cukup besar antara produktivitas saat ini di tingkat petani dibanding potensi hasil.
“Bawang merah juga merupakan salah satu penyumbang inflasi nasional yang tinggi di samping cabai merah. Itulah sebabnya ketersediaan pasokan produksi bawang merah ini harus tetap kita jaga,” ujarnya dalam webinar ‘Peran Teknologi Budidaya Spesifik Agroekosistem untuk Mendongkrak Produksi Bawang Merah di Dataran Tinggi’, pada Kamis (28/03/2024).
Dwinita menjelaskan, diantara tupoksi yang dibebankan ke PRH BRIN adalah mengurangi senjang hasil dan menerapkan teknologi yang dikuasai untuk meningkatkan produktivitas bawang merah.
“Salah satu teknologi yang saat ini sudah dikuasai sekaligus dikembangkan untuk pemanfaatannya adalah Teknologi True Shallot Seed (TSS) yang memerlukan dukungan teknologi budidaya dengan menerapkan GAP atau Good Agricultural Practices dalam menerapkan sistem pertanian berkelanjutan atau Sustainable Agricultural System,” ungkapnya.
Pada kesempatan tersebut, Atman yang merupakan Peneliti Ahli Utama, PRHP-ORPP-BRIN memaparkan Teknologi Produksi Lipat Ganda (Proliga) Bawang Merah Spesifik Dataran Tinggi.
Untuk menghasilkan produksi yang tinggi diperlukan adanya suatu teknologi dalam memanfaatkan biji sebagai sumber benih. Di Sumatera Barat, perkembangan produksi bawang merah cukup signifikan, prosentase perkembangannya sangat tinggi sehingga sudah menduduki level ketiga di Indonesia, setelah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
“Untuk peningkatan produksi, sejak tahun 2015 pemerintah sudah mengembangkan teknologi Proliga bawang merah dengan peningkatan produktivitas mencapai 30 ton per hektare (ha),” terang Atman.
Komponen teknologi Proliga meliputi penggunaan benih asal biji (True Shallot Seed), penambahan populasi tanaman dari 240.000 menjadi 500.000-800.000 rumpun tanaman per ha, pengelolaan manajemen hara dan air, dan pengendalian hama/penyakit terpadu (PHT) dengan target penekanan kehilangan hasil maksimal 10% melalui PHT.
Keunggulan benih asal biji antara lain dapat disimpan lebih dari 1 tahun; bebas cendawan, bakteri, nematoda, insekta, dan jarang terkontaminasi virus dan penyakit tular benih; biaya benih relatif murah (menghemat biaya sampai 50%); fleksibel, dapat ditanam saat dibutuhkan; bentuk dan ukuran umbi relatif lebih seragam; dan produktivitas lebih tinggi, mencapai >20 ton/ha.
Namun, teknologi Proliga belum berkembang di tingkat petani. Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor seperti Informasi teknologi budidaya bawang merah asal biji spesifik dataran tinggi yang masih sedikit, ketersedian benih yang masih sulit didapat, petani enggan mengadopsi karena membutuhkan waktu lama (semai-panen), dan adanya tambahan pekerjaan (menyemai).