Jakarta, Technology-Indonesia.com – Bahan bakar fosil yang semakin langka dan mahal akan meningkatkan penggunaan energi surya dalam pengeringan produk pertanian. Sistem pengeringan surya cocok dan termal untuk mengawetkan produk pertanian dan kelautan Indonesia.
Metode tradisional untuk mengawetkan produk pertanian adalah pengeringan terbuka yang mudah dilakukan dan berbiaya rendah. Namun, pengeringan terbuka membutuhkan waktu lama dan rawan terhadap kontaminasi produk seperti hujan, badai, debu dan gangguan hewan.
Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ahmad Fudholi mengatakan sistem pengeringan surya secara signifikan meningkatkan kualitas produk dan mengurangi waktu pengeringan dibandingkan dengan pengeringan terbuka
Penelitian tentang teknologi energi surya termal ini mengantarkan Ahmad Fudholi menjadi salah satu dari 12 periset yang meraih penghargaan di HUT ke-2 BRIN. Fudholi merupakan Peneliti Ahli Muda bidang energi terbarukan Organisasi Riset Energi dan Manufaktur (OREM) BRIN.
Fudholi melakukan riset bidang teknologi energi terbarukan khususnya teknologi energi surya termal. Risetnya lebih banyak ke pengeringan menggunakan energi surya dan aplikasi PV (photovoltaic) untuk mengeringkan hasil pertanian atau lebih dikenal dengan teknologi photovoltaic/ termal (PV/T).
Teknologi PV/T untuk aplikasi pengeringan hasil pertanian dan laut di Malaysia, Indonesia dan Kamboja sudah dilakukan dan dilaporkan oleh Fudholi dan kawan-kawan. Diantaranya, pengeringan rumput laut, cabai merah, kopi, jahe, kunyit, pelepah sawit, dan daun-daunan herbal (pegaga, tin dan stevia) dengan sistem pengeringan surya.
Fudholi dkk juga telah melakukan riset PV/T untuk menghasilkan air panas yang bisa dimanfaatkan untuk proses pengeringan skala industri. Disamping itu, teknologi termal surya penghasil air panas sederhana dan murah (low cost solar water heater) juga telah dilaporkan bersama mitra riset dari Universitas Muhammadiyah Pekanbaru.
Fudholi melakukan penelitian tentang teknologi pengeringan surya untuk cabai merah Malaysia yang diperoleh dari perkebunan Universiti Kebangsaan Malaysia. Hasil penelitian menunjukkan pengeringan cabai merah dengan teknologi pengeringan surya membutuhkan waktu 33 jam untuk menurunkan kadar airnya sekitar 80% hingga 10%. Sementara pengeringan dengan matahari terbuka membutuhkan waktu 65 jam.
Fudholi menyebut saat ini banyak negara-negara di dunia sudah beralih ke energi terbarukan. Ia menilai perkembangan energi terbarukan di Indonesia mengalami peningkatan.
Menurutnya, banyak wilayah di pedalaman Indonesia memiliki aliran sungai sehingga sangat sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Mikro dan Piko Hidro (PLTMH). PLTMH dapat dikombinasikan secara hibrid, seperti hibrid surya (PV)-energi air dan/ energi angin.
Selain kombinasi dengan PLTHMH, teknologi hibrid penghasil listrik ini bisa digabungkan dengan teknologi PV/T dan beberapa pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan lainnya seperti biomassa yang telah dikembangkan pada riset sebelumnya.
Pemanfaatan biomassa untuk energi alternatif dapat mengurangi dampak lingkungan. Dari perkebunan sawit, setiap hektare menghasilkan pelepah sekitar 10 ton berat kering. Pelepah sawit ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pakan ternak/ sapi.
Diawal proses pembuatan pakan ternak (pelet), pelepah sawit dihancurkan dengan mesin penggiling sehingga halus untuk selanjutnya dikeringkan. Proses pengeringan bisa dilakukan dengan teknologi PV/T, seperti yang telah diriset Fudholi di Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit terbesar di Malaysia (FELDA) di Kuantan, Malaysia.
Melihat potensi energi surya dan biomassa yang besar di Riau (Pekanbaru) juga banyaknya mitra riset dari universitas yang ada di Pekanbaru dan Malaysia serta adanya mitra industri seperti PTPN, kedepannya Fudholi berharap adanya lokasi riset diluar laboratorium (di lapangan) yang berlokasi di Pekanbaru.
Lokasi ini dapat berupa Taman Inovasi Teknologi Energi Hijau yang bisa dijadikan zero energy building Coworking Space (CWS) Pekanbaru dan dapat dimanfaatkan untuk tempat riset bersama mitra universitas yang ada di Pekanbaru. Fungsi dari lokasi ini juga digunakan sebagai wadah untuk promosi riset dan inovasi BRIN.
Menurut Fudholi Indonesia masih perlu bersaing dengan produk-produk teknologi energi terbarukan buatan luar negeri. Hal inilah yang menjadi terhambatnya perkembangan teknologi energi terbarukan di Indonesia.
“Produksi panel PV dalam negeri barangkali sangat sulit untuk bersaing dengan luar negeri dari segi kualitas dan harga, mungkin itu menyebabkan tidak berkembang,” imbuhnya.
Fudholi mengungkapkan hambatan dalam melakukan riset sendiri maupun bersama tim adalah terkendala dengan masalah cuaca mengingat fokus riset yang ia lakukan adalah energi surya termal.
“Riset saya ini fokus ke energi surya, sedangkan CWS dan tim riset saya berada di Bandung. Kondisi cuaca di daerah Bandung saya amati matahari seringkali tak terlihat, didominasi hujan/ cuaca mendung jadi bagaimana mau melakukan riset,” ungkap Fudholi.
Selain itu, untuk melakukan riset dan pengembangan teknologi PV/T di laboratorium (lab) memerlukan simulator surya, yang saat ini masih belum ada di CWS Bandung.
Harapan Fudholi dan tim, CWS BRIN di Bandung dapat menfasilitasi 3 laboratorium proses yaitu laboratorium proses konversi energi surya (PV/T), laboratorium proses konversi energi hidro, dan laboratorium proses konversi biomassa, bio-energi dan energi alternatif lainnya.