Jakarta, Technology-Indonesia.com – Akses petani terhadap sumber-sumber pembiayaan terutama dari lembaga keuangan formal masih terbatas. Hal ini menjadi salah satu masalah utama dalam mendorong peningkatan produktivitas pangan dalam negeri.
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) LIPI, Yeni Saptia mengatakan saat ini hanya sekitar 15% petani yang sudah mengakses kredit bank. Mayoritas petani (52%) masih mengandalkan modal sendiri, kerabat, koperasi dan lembaga keuangan non bank lainnya. Sementara penyaluran kredit bank umum terhadap sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan baru sekitar 9 persen.
“Bank belum begitu tertarik untuk menyalurkan kredit di sektor pertanian karena resikonya tinggi dan perputaran usahanya lama,” terang Yeni dalam Media Briefing “Pembiayaan Pertanian di Persimpangan Jalan” di Media Center LIPI, Jakarta, Selasa (19/09/2017).
Faktor lain penyebab rendahnya produktivitas petani adalah terbatasnya penguasaan lahan yang menyebabkan tingginya tingkat kemiskinan di sektor pertanian. Hal ini tidak lepas dari seringnya terjadi fluktuasi harga dan tingginya ketergantungan pemenuhan pangan dari impor. Artinya kemandirian pangan tidak akan terwujud apabila para petani masih terjebak lingkaran kemiskinan.
Menurut Yeni, tidak semua rumah tangga petani memiliki kapabilitas permodalan. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan petani akan semakin tinggi mengakses kredit bank. Sementara petani kurang sejahtera akan mengandalkan permodalan dari kredit non bank.
Yeni memaparkan kredit program untuk pertanian sebenarnya sudah ada sejak era kolonial (1895-1939) dengan berdirinya Poewokertosche Hulpen Spaar Bank der Inlandsche (1896), Bank Desa/Afdeelingsbank (1900), serta Bank Perkreditan Rakyat/ Algemene Volkscrediet Bank (1934). Pada Era Orde Lama (1945-1966) berdiri Bank Rakyat Indonesia (1946) serta mergernya AVB ke dalam BRI (1950).
Pada era Orde Baru dan era Reformasi, pemerintah meluncurkan berbagi program perkreditan seperti Bimas, Kredit Usaha Tani, Kredit Mini dan Midi, Kredit Usaha Rakyat dan lain-lain. “Namun banyak program yang terhenti karena berbagai masalah,” lanjut Yeni.
Salah satu masalahnya adalah kredit bank tidak sepenuhnya digunakan oleh petani untuk investasi dan modal kerja. “Banyak yang menggunakannya untuk keperluan lain seperti biaya anak sekolah, hajatan, dan lain-lain. Bank tidak bisa mendeteksi penyalahgunaan dana tersebut,” terang Yeni.
Permasalahan program kredit pertanian lainnya adalah penyaluran kredit yang tidak tepat sasaran maupun subsidi bunga yang pembayarannya cenderung lambat dari pemerintah. Selain itu prosedur yang birokratis menyebabkan petani enggan mengajukan kredit.
Solusi dari permasalah tersebut, papar Yeni, antara lain dengan memperbaiki proses bisnis, ketepatsasaran, keberlanjutan, dan dampak. Pada proses bisnis misalnya pemerintah harus membantu proses sertifikasi lahan sebagai jaminan mengajukan kredit. “Rata-rata surat kepemilikan masih girik, bahkan ada petani yang tidak punya surat,” kata Yeni.
Agar penyaluran kredit tepat sasaran, maka kriteria penerima kredit harus jelas. Salah satu solusinya melalui Kartu Tani berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK) serta perbaikan penyaluran kredit saprotan (sarana produksi pertanian) dan sistem logistik.
Sementara untuk menjaga keberlanjutan program, menurut Yeni, perlu peningkatan profesionalisme SDM terutama analis kredit serta keterlibatan kelompok tani. “Pemerintah juga perlu memberi insentif bagi lembaga penyalur kredit,” lanjutnya.
Selain itu, petani juga harus diberi pemahaman pada para petani agar kredit dipakai untuk tujuan produktif bukan konsumtif. Program kredit untuk pertanian juga harus terintegrasi dengan program konsolidasi lahan dan program pemberdayaan/kewirausahaan.
Untuk mewujudkan keempat solusi tersebut, LIPI mendorong sinergitas Badan Layanan Umum Pembiayaan Pertanian yang dikelola Kementerian Pertanian dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dengan tetap memperhatikan Program Produk Unggulan Desa (Prudes).
“Progam ini harus didukung SDM professional dan infrastruktur yang memadai. Kinerja program kredit juga harus jelas agar tidak terjadi kredit macet,” pungkasnya.