Jakarta, Technology-Indonesia.com – Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin beberapa hari lalu meminta agar manfaat tumbuhan kelor diteliti secara serius. Tujuannya agar dapat masuk pasar global seperti ginseng dari Korea Selatan.
Sebenarnya apa saja manfaat tanaman kelor (Moringa oleifera Lam) hingga dijuluki The Miracle Tree oleh World Healthy Organization? Peneliti Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ridwan mengungkap sejumlah fakta.
Kandungan positif dalam Kelor
Pohon kelor yang tergolong ke dalam genus Moringaceae diyakini berasal dari kaki bukit Himalaya, meliputi Pakistan, India, Nepal dan Bangladesh. Saat ini, tanaman tersebut tersebar luas dan banyak dibudidayakan terutama di wilayah tropis.
Selain diolah sebagai bahan pangan, kelor dapat diolah sebagai campuran herbal. Kandungan vitamin dan mineral dalam kelor terbukti mencukupi gizi harian yang dibutuhkan oleh tubuh. Bahkan, kandungan kalsiumnya pun melebihi susu hewani.
“Kandungan kalsium kelor lebih tinggi dibanding tanaman lain. Bahkan, jika dibandingkan dengan susu sapi sekalipun. Padahal selama ini susu sapi dikenal sebagai sumber utama kalsium bagi manusia,” ujar Ridwan.
Berdasarkan beberapa literatur, Doktor lulusan Institut Pertanian Bogor ini mengungkapkan bahwa susu sapi rata-rata mengandung 143mg/100 gr kalsium, sedangkan kandungan kalsium daun kelor kering dapat mencapai 17 kali lipatnya.
Ridwan pernah menganalisis dan membandingkan kandungan kalsium daun kelor dari beberapa daerah di Indonesia. Hasilnya ada yang mencapai hingga 21 kali lipat, yaitu mencapai 3000mg/100gr.
Jadi jangan heran, jika di Nusa Tenggara Timur (NTT) pernah mewajibkan masyarakatnya mengonsumsi kelor, khususnya bagi ibu hamil dan menyusui.
Tanaman ini juga memiliki kandungan protein yang cukup tinggi, sekitar 25-34%, setara dengan kandungan protein pada kacang-kacangan. Merujuk dari data tersebut, memang masih belum sebanding dengan kandungan protein biji kedelai yang mencapai 36%.
Senyawa Flavonoid
Pada beberapa publikasinya, Ridwan menuturkan beberapa tahun terakhir, pemanfaatan tanaman kelor meningkat secara signifikan baik sebagai bahan makanan, obat-obatan, dan kosmetik. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh bertambahnya pengetahuan kandungan gizi dan potensi farmasi kelor.
Ridwan menuturkan selain mengandung kalsium dan protein, kelor juga mengandung berbagai senyawa metabolit sekunder yang berfungsi sebagai antibakteri, antioksidan, antifungi, antiinflamasi, antikanker, anti obesitas, dan anti kolesterol.
Tak hanya itu, senyawa metabolit sekunder memiliki beberapa fungsi lain, diantaranya sebagai atraktan (menarik serangga penyerbuk), pelindung dari stres lingkungan, pelindung dari serangan hama atau penyakit (phytoaleksin), pelindung terhadap sinar ultra violet, dan sebagai zat pengatur tumbuh.
“Senyawa metabolit sekunder sulit disintesa, jarang dijumpai di pasaran, sehingga memiliki nilai ekonomi tinggi. Senyawa bioaktif yang paling banyak diincar dalam kelor adalah flavonoid,” tuturnya.
Moringa mengandung berbagai jenis flavonoid senyawa seperti quercetin, kaempferol, isorhamnetin, apigenin, dan myricetin. Kandungan flavonoid daun kelor dilaporkan lebih tinggi dari tanaman lain, seperti bayam, brokoli, dan sayuran lainnya.
“Bahkan dinyatakan kandungan flavonoid daun kelor lebih tinggi (327,2 – 13,8 mg/100 FW) dibandingkan 19 sayuran yang biasa dikonsumsi dalam kemasan salad (3,8 – 191 mg/100 g FW) di Spanyol,” tandas Ridwan.
Flavonoid merupakan salah satu senyawa polifenol yang baru-baru ini telah banyak dipelajari dan digunakan dalam bidang kesehatan.
Kandungan ini memiliki fungsi potensial sebagai antivirus /bakteri, anti-diabetes, anti-kanker, anti-inflamasi dan untuk pengobatan penyakit degeneratif, tetapi terutama memiliki berfungsi sebagai antioksidan. Â
Sebagai senyawa fitokimia, flavonoid tidak disintesis pada tubuh manusia ataupun hewan. Biosintesis flavonoid terjadi di hampir bagian tanaman, terutama dalam sel fotosintesis.
Kelor merupakan salah satu tanaman yang telah diketahui mengandung senyawa flavonoid dengan aktivitas antioksidan yang tinggi. Namun, kandungan flavonoid tanaman ini sangat bergantung pada kondisi lingkungan, seperti suhu, cahaya intensitas, dan ketersediaan air.Â
Ridwan menerangkan, kelor yang tumbuh pada musim kemarau kandungan flavonoidnya lebih tinggi dibandingkan pada musim hujan. Bahkan dilaporkan konsentrasi flavonoid dalam daun kelor juga meningkat saat diperlakukan dengan menahan air selama 30 hari.
“Hal tersebut menunjukkan bahwa kandungan flavonoid pada Daun kelor dapat ditingkatkan dengan mengurangi air ketersediaan melalui pengolahan stres air,” ungkap Ridwan.
Dari penelitian yang pernah dilakukan, Ridwan mengungkapkan perlakuan kekeringan, terutama cekaman kekeringan yang ringan hingga sedang (50%-80% kapasitas lapang)dapat menginduksi peningkatan senyawa flavonoid tanpa menurunkan pertumbuhan dan produksi biomassa yang signifikan.
Pada cekaman kekeringan yang lebih parah, tidak hanya produksi biomassa yang menurun, namun juga kandungan senyawa flavonoidnya.
Cekaman kekeringan yang ringan-sedang dapat direkomendasikan sebagai metode irigasi yang efektif dan efisien dalam budidaya kelor untuk menghasilkan biomassa daun berkualitas tinggi, yang dapat digunakan sebagai bahan pangan fungsional dan obat-obatan untuk mengobati penyakit degeneratif.
Namun, Ridwan mengingatkan penelitian lebih lanjut tentunya masih sangat diperlukan. Â (Sumber brin.go.id, ilustrasi: Pixabay.com/ninetechno)