Jakarta : Hingga Maret 2010, terdapat 338 kabupaten dan kotamadya di seluruh Indonesia endemis filariasis. Sedangkan jumlah kasus kronis filariasis yang terlaporkan sebanyak 11.914 orang yang tersebar di 401 kabupaten dan kotamadya.
“Dari angka tersebut, dengan prevalensi mikrofilaria sebesar 19 persen, berarti sekitar 40 juta orang, tubuhnya membawa bakteri microfilaria,” ungkap Rika Kusriatuti, Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) Kementerian Kesehatan di Jakarta.
Tidak seperti malaria dan bemam berdarah, Filariasis dapat ditularkan sebanyak 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes & Armigeres. “ Hal itu menyebabkan Filariasis dapat menular dengan sangat cepat,” ujar Rika.
Cacing yang dihisap nyamuk tidak begitu saja dipindahkan, tetapi sebelumnya tumbuh di dalam tubuh nyamuk. Sekitar tiga minggu, pada stadium tiga, larva mulai bergerak aktif dan berpindah ke alat tusuk nyamuk. Saat menggigit manusia, bisa mengeluarkan ribuan larva berukuran 200-600 mikron x 8 mikron.
Dalam bentuk larva dan mikrofilia (cacing kecil), cacing ini berada dalam darah, namun ketika beranjak dewasa dengan ukuran 55-100 mm dengan tebal 0,16 mm, cacing ini akan bermigrasi ke pembuluh limfe (kelenjar getah bening).
Kegiatan cacing dalam pembuluh limfe ini menyebabkan berbagai reaksi inflamasi dan sumbatan pembuluh limfe. Sumbatan inilah yg menyebabkan akumulasi cairan di tubuh bagian bawah dan scrotum (kantung pelir) sehingga daerah-daerah tersebut seringkali membengkak. ”Kegiatan cacing mini dalam tubuh itu mampu membuat kaki, tangan, dan organ lain penderita menjadi membesar,” ujarnya.
Ahli parasitologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Saleha Sungkar menjelaskan, “Lebih dari 20 spesies nyamuk menjadi vektor filariasis. Nyamuk Culex quinquefasciatus sebagai vektor untuk wuchereria bancrofti di daerah perkotaan. Di pedesaan vektor umumnya Anopheles, Culez, Aedes, dan Mansonia. Spesies nyamuk vektor bisa berbeda dari daerah satu dengan daerah lain.”
Sementara itu, menurut Kepala Subdit Filariasis P2B2, Kementerian Kesehatan, dr. Sitti Ganefa Pakki, M.Epid,” Pengobatan filariasis sudah mengalami beberapa kali mengalami perubahan metode sejak dimulainya program pemberantasan filariasis sejak tahun 1970. Pemberian obat secara massal untuk pencegahan filariasis dengan menggunakan obat Diethylcarbamazine citrat (DEC) yang dikombinasi dengan albendazole dan paracetamol, yang diberikan 1 tahun sekali selama 5 tahun berturut-turut sangat ampuh membunuh mikrofilaria secara sistematis.”
Adapun efek samping seperti pusing dan mual akan hilang dalam waktu empat hingga enam jam. Namun efek tersebut akan hilang dalam waktu 3-4 hari. Ini merupakan langkah paling efektif membunuh mikrofilia. “Lebih baik menderita 3 hari daripada menderita seumur hidup gara-gara penyakit itu,” ungkap Sitti
Pengobatan massal tersebut merupakan prosedur yang sesuai dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang telah lama menggunakan diethylcarbamazine citrate (DEC) di 50 negara mencakup 496 juta orang. Obat ini digabung dengan penggunaan Albendazol (obat cacing) dan parasetamol (obat penurun panas). (Ap)