Kalangan Tidak Mampu Bisa Raih Impian Menjadi Dokter

alt

 
Jakarta, technology-indonesia.com – Cita-cita sebagian besar anak Indonesia adalah menjadi seorang dokter. Namun, mahalnya biaya pendidikan kedokteran menutup akses bagi mahasiswa kalangan tidak mampu untuk mengenyam pendidikan kedokteran.
 
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir menjawab kegundahan masyarakat mengenai mahalnya pembiayaan pendidikan kedokteran. Ia menegaskan bahwa calon mahasiswa berprestasi dari kalangan tidak mampu jangan khawatir, karena berbagai skema pembiayaan dan beasiswa dari pemerintah memberikan akses bagi mereka untuk meraih impian menjadi dokter. 
 
“Ada banyak faktor yang menyebabkan biaya pendidikan kedokteran mahal” ujar Menristekdikti dalam program Live Dialog “Semangat Pagi Indonesia” bertema “Mahalnya Biaya Kuliah di Fakultas Kedokteran” pada Jumat (24/3/2017) di studio 6 TVRI, Jakarta. 
 
Menteri Nasir menjelaskan biaya pendidikan kedokteran lebih mahal karena untuk menghasilkan seorang dokter profesional dan handal diperlukan sumber daya yang besar dan berkualitas, sejak tahap pendidikan akademik (pre-klinik), profesi (klinik/co-ass), hingga Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD). Berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi, mahasiswa diharapkan mengikuti pendidikan klinik di rumah sakit sejak awal pendidikan (early clinical exposure).
 
Pendidikan kedokteran, lanjutnya, membutuhkan sumber daya manusia, sarana dan prasarana pendidikan, kurikulum, Rumah Sakit Pendidikan, wahana pendidikan Kedokteran, serta wahana penelitian sesuai Standar Pendidikan Profesi Dokter (SPPD) dan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI). Untuk itu, dibutuhkan sumber daya dan biaya yang besar untuk mendirikan dan mengimplementasikan pendidikan kedokteran. 
 
Pada 2012, Ditjen Pendidikan Tinggi telah menyusun analisis unit cost pendidikan kedokteran per semester dengan pendekatan activity-based costing, yang selanjutnya menjadi dasar perhitungan Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk pendidikan kedokteran di PTN sesuai Permendikbud No. 73/2014. Berdasarkan analisis tersebut diperoleh BKT Pendidikan Dokter sebesar Rp 12.694.000. Dalam penerapannya di perguruan tinggi negeri, UKT Pendidikan Dokter mulai dari Rp.0 hingga maksimal Rp 25.000.000 (kelas tertinggi). Dengan berlakunya UKT, mahasiswa di perguruan tinggi negeri hanya membayar uang semester, tidak ada lagi uang pangkal dan biaya lainnya. 
 
“Melalui UKT, mahasiswa kalangan tidak mampu tidak perlu membayar uang semester (Rp.0), sedangkan mahasiswa mampu lainnya membayar UKT sesuai kemampuan orang tua, subsidi silang. Sehingga muncul sistem pembiayaan berkeadilan” ujar Nasir.
 
Selain melalui sistem UKT, kalangan dari keluarga tidak mampu juga dijamin aksesnya mengenyam pendidikan dokter melalui pemberian beasiswa melalui program BIDIK MISI, LPDP, dan Program Beasiswa Afirmasi. 
 
“Tahun 2017, Kemenristekdikti menyiapkan Beasiswa Bidik Misi bagi 90.000 mahasiswa Indonesia, dan ini terbuka bagi seluruh fakultas dan program studi”, pungkasnya.
 
Selain skema beasiswa tersebut, beberapa universitas telah membuat program terobosan untuk membuka akses pendidikan kedokteran. Universitas Padjajaran  contohnya, sejak tahun lalu telah menggratiskan biaya pendidikan bagi para mahasiswa kedokteran. Para mahasiswa memperoleh beasiswa dari kota/kabupaten di Jawa Barat, termasuk dari instansi swasta dengan kewajiban setelah mereka lulus sebagai dokter harus bekerja di Jawa Barat di wilayah/instansi yang ditentukan.
 
Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author