Berdasarkan penelitian Global Nutrition Report (GNR) 2014, Indonesia termasuk negara dengan masalah gizi yang kompleks. Indonesia termasuk di dalam 17 negara dari 117 negara yang mempunyai tiga masalah gizi serius pada bayi yaitu perawakan pendek (stunting), kurus dan bergizi buruk (wasting), serta kegemukan (overweight).
Indonesia juga termasuk 47 negara dari 122 negara yang mempunyai masalah stunting pada balita dan anemia pada WUS (Wanita Usia Subur). Selain itu, cakupan untuk tiga dari lima intervensi yaitu Inisiasi Menyusu Dini (IMD), ASI eksklusif, serta tablet tambah darah (TTD) untuk ibu hamil untuk penanggulangan masalah gizi masih rendah.
Direktur Bina Gizi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Doddy Izwady mengatakan pada masalah kekurangan gizi, Kemenkes sudah bisa mengontrol masalah kurang vitamin A dan gangguan akibat kekurangan Iodium. “Namun masih harus terus bekerja keras dalam mengatasi masalah gizi kurang, stunting, dan anemia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 prevalensi kurang gizi dan pendek di Indonesia saat ini masih cukup tinggi, masing-masing 19,6% dan 37,2%,” lanjut Doddy dalam Konferensi Indonesia Bergizi 2015 di Jakarta, Senin (16/11).
Menurut Doddy, masalah anemia gizi besi pada ibu hamil prevalensinya masih tinggi yaitu sebesar 37,1%. Masalah anemia juga terjadi pada anak balita yaitu sebesar 28,1%. Masalah kelebihan gizi pada balita yang mencapai 11,9% mulai mengkuatirkan, karena berujung pada peningkatan risiko Penyakit Tidak Menular (PTM).
Tidak hanya karena kelebihan gizi, PTM nyatanya diketahui sebagai dampak dari gagalnya pemenuhan kebutuhan gizi pada masa awal kehidupan. Keadaan ini akan mendorong terjadinya rekayasa sel-sel DNA pada anak. Akibatnya, tubuh anak lebih mudah gemuk tapi pendek. “Anak-anak bertubuh pendek lebih berisiko mengalami berbagai penyakit tidak menular saat dewasa, seperti hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung koroner dan stroke,” tegas Doddy.
Melalui konferensi ini, Konsorsium Indonesia Bergizi mengajak berbagai pihak yang peduli dengan gizi anak dan remaja untuk saling berbagi praktek terbaik, data maupun teori ilmiah terbaru. Konferensi ini menekankan pentingnya sinergi berbagai pemangku kepentingan dalam merumuskan dan melaksanakan berbagai rangkaian program dan kebijakan secara konferhensif, berkesinambungan dan terukur.
Ketua Konsorsium Indonesia Bergizi, Andi Prasetyo mengatakan, apa yang kami lakukan adalah menjalin komunikasi, jejaring dan kerjasama konkret antara pemerintah, publik dan perusahaan untuk berbagi data, informasi, dan temuan ilmiah terbaru. “Kami juga saling membuka akses untuk bersama-sama menyusun program peningkatan gizi yang saling komplementer agar permasalahan gizi di Indonesia bisa mulai dihadapi secara menyeluruh. Ini sangat penting mengingat berbagai data terkini menunjukkan angka gizi buruk di Indonesia masih tinggi,” pungkas Andi. Albarsah