Menelikung Peneliti Ditengah Arus Globalisasi

Menelikung

Dengan alasan menekan biaya pengeluaran negara akibat defisit berjalan, pemerintah  memangkas anggaran seluruh instansi sebesar 15%. Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) di lingkungan Kementerian Negara Riset dan Teknologi tidak  memiliki alternatif untuk tidak memotong anggaran bidang penelitian.

Ibarat pepatah, hidup segan mati pun tidak mau, begitulah perkembangan penelitian di tanah air. Tengoklah anggaran bidang riset dan teknologi yang tidak mampu melewati ambang 1% dari Gross Domestic Product. Bahkan, pada tahun ini hanya dianggarkan sebesar 0,03 % dari GDP. Anggaran itu pun yang harus dibagi  kepada 9 LPND pada lingkungan Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KNRT), yaitu Bakosurtanal, Bapeten, Batan, BPPT, BSN, LAPAN, LIPI, PP-IPTEK, Lembaga Eykman , dan KNRT.

 

Akibat defisit berjalan, anggaran bidang ristek pun ikut dipotong pemerintah sebesar 15% sesuai dengan kebijakan efisiensi. Dalam rapat pleno antara Menteri Perekonomian, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Riset dan Teknologi pada 22 Januari 2007, dibahas alasan pemotongan anggaran tersebut.

 

Dalam rapat tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa defisit anggaran bergerak naik sejalan dengan perubahan faktor eksternal (harga minyak), faktor migas & listrik (konsumsi BBM dan listrik), indikator makro (kurs, lifting minyak, pertumbuhan, inflasi dan suku bunga). Oleh karena itu diperlukan 9 langkah pengamanan APBN 2008, seperti menekan angka pengeluaran dan memfokuskan prioritas serta penghematan. Salah satu mekanisme yang ditempuh yaitu pemotongan sebesar 15% untuk seluruh instansi pemerintah.

 

Akibat hal itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berencana memangkas biaya penelitian, seperti diungkapkan  Prof. Dr Endang Sukara, Deputi Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI. “Tidak mungkin memangkas gaji pegawai. … komponen dana penelitan yang harus turun sebesar 15%,” ujarnya.

 

Dalam APBN 2007, alokasi anggaran LIPI tercatat sekitar Rp 553 miliar. Maka, akibat kebijakan pemerintah itu, setidaknya anggaran LIPI akan berkurang hingga Rp85 miliar rupiah dibandingkan dengan anggaran 2007. “Itu cukup besar bagi kami. Bahkan, peneliti pun rasanya sulit untuk melakukan kegiatan penelitian dengan adanya pemangkasan tersebut,” ujarnya.

 

Keluhan serupa dilontarkan kalangan Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (Lapan). “Semestinya ada komitmen kuat dari pemerintah dalam pengembangan teknologi. Perangkat pendukung pengembangan proyek seharusnya masuk dalam komponen biaya tetap seperti halnya gaji. Karena, peneliti bukan pegawai administratif, namun memiliki target proyek yang harus diselesaikan,” kata Dr Bambang Koesmanto, M.Sc, Sekretaris Utama Lapan.

Nilai anggaran 2008 yang diperuntukkan bagi Lapan tercatat sekitar Rp 211 miliar. “Penghematan 15% dari pagu sesungguhnya setara dengan penghematan 28% dari belanja tidak mengikat Lapan,” ujarnya.

Penghematan sebesar tersebut, lanjut Bambang, sangat berpengaruh terhadap tertundanya beberapa kegiatan penting. Di antaranya, pengembangan roket pengorbit satelit mikro serta satelit pemantau.

Di bidang pelayanan informasi, lanjut dia, juga menyebabkan terganggunya kelancaran informasi untuk keperluan mitigasi bencana (banjir, cuaca ekstrim, kebakaran hutan, dan kekeringan lahan) serta informasi sumberdaya alam dan lingkungan. Juga, penyediaan informasi bagi sektor pertanian (ketahanan pangan, luas lahan sawah, pemantauan ketersediaan sumberdaya air waduk dan bendungan), industri perikanan (informasi harian potensi penangkapan ikan), akan terkendala. Termasuk, informasi terkini (realtime) tentang perubahan tutupan dan penggunaan lahan, baik untuk hutan, perkebunan, air, pemukiman, perkotaan dan sawah.

Pemangkasan itu jug amenghambat  informasi peringatan dini terkait perubahan iklim, bencana alam akibat fenomena astronomi (matahari) dan antariksa terkait dengan sistem komunikasi, navigasi, jaringan listrik, dan benda jatuh antariksa. Termasuk,  monitoring gas rumah kaca (CO2) yang selama ini dilakukan Lapan, akan terganggu. “Padahal informasi ini diperlukan dalam rangka penyusunan kebijakan untuk antisipasi pemanasan global,” ujarnya.

Sementara, penyusunan bahan RUU Keantariksaan (terkait dengan peyiapan “air lunch” di Biak, Papua) dan penyiapan kelengkapan peraturan terkait dengan UU Penataan Ruang, juga diperkirakan akan mengalami penundaan.

LPND lain, seperti Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), dan lainnya, juga mengeluhkan hal yang sama.

 

Selamatkan APBN

Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman menegaskan kebijakan pemotongan 15% merupakan upaya pemerintah menyelamatkan APBN.

 

“Masalahnya, harga minyak naik tajam, juga komoditas. Jadi, bagaimana secara nasional menyelamatkan APBN, baik dengan efisiensi atau pemotongan,” ujarnya.

 

Menegristek menambahkan jika asumsi harga minyak tetap rendah, maka defisit akan membengkak. “Dalam UU ditetapkan defisit tidak boleh hingga 4%. Artinya, jika melebihi angka tersebut berarti melanggar UU, dan Presiden bisa di-impeach,” tegasnya.

 

Kendati demikian, LPND di lingkungan KNRT, kata Menegristek, bisa mengupayakan mencari sumber-sumber dana penelitian dari kalangan swasta. “Swasta bisa dijaring dengan memberi insentif berupa kompensasi pajak sebesar biaya penelitian yang diberikan. PP-nya sudah ada,” ujarnya.

 

Peraturan pemerintah No.35/2007 mengatur pengalokasian sebagian pendapatan badan usaha untuk peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi. Kebijakan ini ditargetkan untuk lebih meningkatkan partisipasi dunia usaha dalam kegiatan penelitian untuk meningkatkan daya saing. ”Untuk operasionalnya akan dikeluarkan aturan pelaksana, salah satunya pembentukan tim independen,” ujar Menegristek. Namun kenyataannya, hingga kini aturan pelaksana PP tersebut belum dikeluarkan.

 

Padahal, sebelumnya pemerintah sudah gencar mengkampanyekan kenaikan anggaran bidang iptek hingga 1% PDB (Pendapatan Domestik Brutto), atau dengan kata lain APBN harus menutup tambahan tersebut sekitar Rp 40 triliun dari anggaran saat ini, sekitar 0,04% PDB

 

Jika membandingkan dengan negara tetangga, yaitu Malaysia, tentu dirasakan sangat ironis.   Perkembangan anggaran iptek Indonesia 0,74% PDB pada 1972  menjadi 0,08% PDB pada 2004. Bandingkan dengan Malaysia yang pada 2002 telah mencapai 0,69%PDB.

 

Kebijakan Malaysia yang bertumpu pada ekonomi inovasi kenyataannya memacu pertumbuhan PDB  perkapita di atas 8% pada 2020. Tercatat, pada 2006 PDB per kapita Malaysia mencapai USD 10.763.

 

Hal itu, diakui Menegristek. “Anggaran penelitian Indonesia masih sangat rendah dibanding negara-negara lainnya. Namun, pemerintah tetap menargetkan bujet penelitian mencapai angka ideal yaitu sekitar 3% dari PDB,” ujarnya.

 

Di Singapura, kata Menegristek, anggaran penelitian sekitar 2%. “Bahkan, tidak satu pun negara maju saat ini yang memiliki belanja nasional untuk penelitian dan pengembangan di bawah 3%. Tertinggi di dunia yaitu Norwegia, yaitu sekitar 4,3-4,5%,” ujarnya.

 

Kenyataan ini tentu membantu menjelaskan ketika tidak sedikit peneliti Indonesia yang memilih berkarir di luar negeri, seperti yang dialami LIPI belum lama ini, yaitu ketika lembaga itu kehilangan peneliti sebanyak 27 peneliti bioteknologinya. (Lea)

You May Also Like

More From Author