Jakarta, Technology-Indonesia.com – Pulau Jawa telah mengalami banyak tekanan ekologis akibat aktivitas manusia yang berpotensi memicu kepunahan. Namun, temuan spesies jenis baru memberi angin segar di tengah krisis keanekaragaman hayati. Satu spesies baru cecak batu secara resmi dicatatkan pada lembaran daftar spesies Indonesia pada 17 Mei 2019 di jurnal ilmiah ZOOTAXA edisi 4608.
Deteksi dini keberadaan cecak batu (genus Cnemaspis) pertama kali dijumpai oleh Andri IS Martamenggala dari GAIA Eko Daya Buana yang merupakan salah anggota tim pendeskripsi spesies baru saat melakukan kegiatan survei pendataan keragaman hayati di gunung Muria, Jawa Tengah pada Juli 2018. Temuan tersebut mendorong Andri melakukan verifikasi melalui Museum Zoologicum Bogoriense yang berada dalam pengelolaan Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang menjadi pusat acuan ilmiah terkait keragaman satwa liar Indonesia.
Temuan tadi kemudian ditindaklanjuti dengan membentuk tim yang terdiri dari GAIA Eko Daya Buana serta LIPI untuk memastikan temuan tersebut dengan melihat langsung di lokasi. Berdasarkan catatan ilmiah, distribusi cicak marga Cnemaspis di Indonesia hanya sampai di daerah gunung Rajabasa, Lampung; Kalimantan Barat serta pulau kecil di selat Karimata.
“Setelah melalui kajian morfologis dan filogenik, tim mendapatan kesimpulan bahwa cecak batu dari gunung Muria tersebut merupakan spesies baru,” ujar Awal Riyanto dari Pusat Penelitian Biologi LIPI dalam keterangan tertulis yang diterima www.technology-indonesia pada Selasa (4/6/2019).
Ciri-ciri morfologi spesies baru yang bernama Cnemaspis muria ini berupa pupil yang bulat, panjang tubuh mencapai 5,8 cm, adanya sepasang struktur tuberkular seperti kerucut pada kepala bagian belakang, alur berkutil pada nuchal loop, susunan deret tuberkular dorsal tidak secara linier, serta tidak terdapat pori-pori prakloakal maupun femoral.
“Spesies jantan mempunyai warna perut dan pangkal kuning serta ujung ekor putih, sedangkan betina perut berwarna putih dan setengah panjang ekor bagian belakang dihiasi warna hitam putih berselang seling seperti cincin,” jelas Awal.
Sementara kata “muria” pada spesies baru ini mengacu nama gunung Muria yamg merupakan tempat ditemukannya spesies tersebut. Cnemaspis muria dijumpai pada habitat berupa bebatuan di sepanjang sungai dan perkebunan kopi serta mungkin juga dalam hutan pada ketinggian antara 600 hingga 650 m dpl. “Tim peneliti menduga cecak ini mempunyai peran dalam ekosistem perkebunan kopi sebagai pengendali populasi serangga,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, penggunaan herbisida dan insektisida di perkebunan kopi sebagai habitat spesies baru ini harus dibatasi dan hanya diterapkan jika ledakan hama. Hasil penelitian juga menunjukkan secara morfologi dan filogeni, Cnemaspis muria berkerabat dekat dengan Cnemaspis bidongensis atau cicak batu dari pulau Bidong Malaysia dan masuk dalam grup Kendallii yang terdistribusi di semenanjung Malaysia, Kalimantan, Natuna serta Jawa sebagai lokasi distribusi baru.
“Penelitian selanjutnya adalah untuk mengungkapkan perkiraan kapan divergence time evolusi dengan beberapa penyandi DNA untuk mengetahui apakah sejalan dengan sejarah geologi kepulauan Sunda atau tidak,” ujarnya. Ia menjelaskan, penelitian lapangan perlu dilakukan untuk memahami aspek perilaku satwa, kondisi populasi, serta evolutionary stable strategy (ESS).