Cakupan ketersediaan CSRT di Indonesia
Cibinong, technology-indonesia.com – Badan Informasi Geospasial (BIG) masih menghadapi beberapa kendala dalam penyelesaian pemetaan desa. Dari 74.954 desa di Indonesia, baru 4.150 desa yang selesai pemetaannya pada 2016 atau sekitar 6%. Pada 2017, BIG mentargetkan 7.900 desa sudah selesai dipetakan.
Kepala BIG, Hasanuddin Z. Abidin mengatakan kendala penyelesaian pemetaan desa antara lain karena ketersediaan anggaran, kurangnya sumber daya manusia (SDM), dan masalah standardisasi.
Selain itu, pemetaan desa juga memerlukan peta rupa bumi skala 1:5.000 yang ketersediaannya belum mencakup seluruh wilayah Indonesia. Akhirnya BIG menggunakan citra satelit resolusi tinggi (CSRT). “Tapi itu perlu ditegakkan atau orthorektifikasi dan pengukuran GCP (Ground Control Point),” kata Kepala BIG di Cibinong, pada Selasa (23/5/2017).
Menurut Kepala BIG, selain untuk pemetaan desa, peta rupa bumi skala 1:5.000 akan digunakan untuk rencana detail tata ruang dan reforma agraria. “Jadi jangan hanya mengunakan sesuatu untuk satu purpose namun multi purpose,” terangnya.
Masalah lainnya, tahun ini tidak ada pembelian CSRT karena adanya pemotongan anggaran di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sebagai lembaga yang melaksanakan penyediaan citra satelit penginderaan jauh resolusi tinggi untuk kebutuhan semua sektor. Menurut Kepala BIG idealnya Indonesia segera memiliki satelit remote sensing yang bisa melakukan pemetaan dengan citra resolusi sangat tinggi.
Untuk mengatasi masalah pendanaan, BIG berusaha menjalin kerjasama dengan pemerintah daerah antara lain untuk pemetaan skala skala 1: 1.000. “Misalnya dengan Pemkot Bandung. Dana dari Pemkot Bandung, yang melaksanakan pihak ketiga. BIG hanya menyiapkan standar, mengevaluasi, memverifikasi dan lain-lain. Kalau sudah selesai datanya diharapkan dipakai oleh Pemkot dan untuk memperkaya informasi geospasial kita,” terangnya.
BIG juga akan bekerjasama dengan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) mengenai penggunaan dana desa. Kerjasama dengan pihak swasta yang belum dicoba oleh BIG misalnya melalui CSR (Corporate Social Responsibility). “Kadang perusahaan swasta memetakan sendiri. Tapi kadang data mereka tidak terstandar dan tidak disetor ke BIG,” kata Hasanuddin.
Kepala BIG berharap agar ada regulasi bagi siapa saja yang memetakan di Indonesia untuk berkoordinasi dengan BIG mengenai masalah standar dan sebagainya. “Bila sudah selesai datanya bisa untuk memperkaya informasi geospasial yang ada di kita,” pungkasnya.