Pemerintah telah menerapkan Perpres Nomer 9 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta (KSP) pada skala 1:50.000 yang rencana aksinya melibatkan 19 Kementerian/Lembaga (K/L) dalam rentang waktu 2016-2019. Pencapaian rencana aksi tersebut dilakukan melalui koordinasi antar K/L yang telah memiliki peta tematik skala 1: 50.000.
Hal tersebut disampaikan Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG), Hasanuddin Zainal Abidin saat membuka Rapat Koordinasi Teknis Informasi Geospasial Tematik (Rakortek IGT) Tahap III di Jakarta, Rabu (21/12/2016). Rakortek ini bertema Peningkatan Sinergitas Kementerian/Lembaga Dalam Rangka Implementasi Percepatan Kebijakan Satu Peta.
“Harapannya dengan program KSP ini kita punya suatu peta 1:50.000 yang mengacu pada satu sistem referensi, satu sistem standar, satu basis data dan satu geoportal, satu versi dan satu walidata,” lanjutnya.
Pada kesempatan tersebut, Kepala BIG mengapresiasi komitmen yang tinggi dari K/L dalam melaksanakan KSP yang diwujudkan dengan penandatanganan pakta integritas. Serta komunikasi antar K/L dalam penyelenggaraan IGT sehingga dapat dapat diketahui rencana dan target IGT Nasional.
“Hal positif dalam program KSP adalah bahwa IGT yang dihasilkan memiliki kualitas yang diharapkan relatif baik setelah melewati proses verifikasi yang dilakukan oleh tim Percepatan Kebijakan Satu Peta. Antusiasme K/L dalam proses perbaikan hingga tercapai IGT terintergrasi juga baik,” papar Hasanuddin.
Kepala BIG juga mengapresiasi kerjasama antara Tim Sekretaris KSP dan K/L yang telah berhasil melakukan integrasi sebanyak 76 persen yaitu 54 peta untuk target wilayah kalimantan. “Namun target 100 persen untuk wilayah Kalimantan harus tetap dilaksanakan,” tegas Hasanuddin.
Menurut Kepala BIG, ada beberapa kendala dalam percepatan pelaksanaan KSP antara lain ketersediaan SDM bidang Informasi Geospasial (IG) di K/L. Bukan hanya di K/L, secara nasional Indonesia kekurangan SDM IG. Begitu juga dengan industri geospasial Indonesia yang kurang dari 100 perusahaan. Masih kurang jika dibandingkan dengan Singapura yang wilayahnya kecil namun industri geospasialnya sekitar 300 perusahaan.
Karena itu, lanjut Hasanuddin, seandainya pemerintah memberikan dana yang sangat besar kepada BIG untuk menyelesaikan, kendalanya bukan di BIG tapi di industri geospasial. Kalau industri geospasial diperbanyak, berarti perlu banyak tenaga lulusan S1.
“Kalau kita bicara di level teknisi untuk kadaster membutuhkan 10ribu SDM IG dalam tiga tahun. Sementara SMK Geomatika hanya ada 85 di Indonesia, itupun konsentrasinya Jawa- Sumatera. Jadi percepatan KSP harus didukung dengan percepatan penyediaan SDM di bidang geospasial,” kata Hasanuddin.
Kendala berikutnya adalah kualitas peta rupa bumi Indonesia yang heterogen. Masih ada inkonsistensi antara data-data tematik yang ada di K/L dengan di IGD. Karena itu harus intergrasikan.
Kepala BIG berharap percepatan pelaksanaan KSP dapat berjalan dengan lancar melalui kerjasama yang cukup baik antara K/L penyelenggaraan IGT, Kementerian Bidang Perekonomian, BIG, KSP, pemda dan K/L lainnya. Selain itu, K/L diharapkan telah menganggarkan penyelenggaraan IGT 2017 dengan prioritas di wilayah Sumatera dan Sulawesi.
“BIG akan terus mengupdate dan menghomogenkan peta rupa bumi skala 1:50.000. Jangan sampai kita merencanakan pembangunan sekarang menggunakan peta tahun 2000. Itu tidak bisa. Peta-peta tematik dan peta dasar yang up to date itu sudah wajib hukumnya,” pungkasnya.