Jakarta, Technology-Indonesia.com – Topik Austronesia secara nomenklatur baru berkembang sejak abad ke-19. Namun, pencatatan tentang perhatian persamaan bahasa dan budaya di Nusantara yang beragam dari berbagai pulau sudah menjadi perhatian para ilmuwan sebelumnya.
Kepala Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah (PR APS) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Irfan Mahmud mengatakan beberapa hal sangat signifikan yang menjadi perhatian, bahwa Austronesia ternyata menjadi alas kebudayaan bangsa Indonesia dalam keberagamannya.
“Kita menemukan pertalian benang merah dari berbagai budaya yang ada di kepulauan Indonesia. Isu Austronesia ini membuat Indonesia secara diplomatik menjadi penting dalam skala global, karena Indonesia berada pada posisi strategis, di antara berbagai negara,” jelas Irfan pada webinar Forum Kebhinekaan seri-19, dengan tema “Rekam Jejak Manusia dan Budaya di Austronesia”, Kamis (31/08/2023).
Dia menambahkan, studi ini merupakan studi multidisiplin, dengan aspek-aspek yang menjadi perhatian, yaitu bahasa, arkeologi artefak budaya dan materialnya, serta genetik. “Harapan kita bahwa ini menjadi magnet untuk kolaborasi,” harapnya.
Kesamaan Pola
Peneliti dari PR APS, yaitu, Dyah Hidayati, Erlin Novita Idje Djami, Sriwigati, dan Gunadi Kasnowihardjo mengungkap kajian Austronesia ini melalui situs penguburan di Nusantara.
Kajian Austronesia berdasarkan data kubur, menunjukkan banyak informasi dan data yang terhimpun secara beragam dan memiliki kesamaan pola maupun bentuk kebudayaan dalam konteks yang sama, mulai dari Sumatera, Jawa, Sulawesi, maupun Papua.
Diyah memaparkan sebuah situs penguburan di Kepulauan Batu menunjukkan indikasi mengenai keberadaan sekelompok orang atau lebih di masyarakat. Mereka telah terikat dalam sebuah organisasi kemasyarakatan dan bermukim di suatu tempat, baik menetap ataupun berpindah-pindah.
“Ciri paling spesifik yang bisa kita perhatikan dari penguburan khas etnis Nias di Kepulauan Batu ini yaitu penggunaan keranda kayu. Namun, mereka memiliki keseragaman bentuk, dibuat dari sejenis kayu keras, sehingga tahan cuaca dengan bentuknya memanjang menyerupai perahu,” jelasnya.
Peletakan jenazah, ungkap Diyah, mengarah ke arah laut. Peti-peti disusun secara berderet dengan bagian yang dipahatkan mengarah ke arah laut. Masyarakat Kepulauan Batu pada umumnya juga bermata pencaharian sebagai nelayan, serta mengandalkan hidupnya dari berkah laut.
Sementara Erlin menyampaikan, Papua memiliki wilayah yang sangat luas, yang terdiri dari satu pulau besar dan ratusan pulau-pulau kecil, baik berpenghuni maupun tidak.
Penguburan jenazah adalah suatu proses dalam suatu adat kematian. Penguburan juga berkaitan erat dengan perlakuan orang hidup terhadap tubuh maupun tulang-tulang orang yang sudah mati.
Mereka memercayai, kuburan sebagai tempat terakhir bagi ‘si mati’ di dunia, dan menjadi titik awal perjalanan menuju alam ruh.
Salah satu bukti dari penguburan masa lampau di Papua dapat ditemukan jelas sisa-sisa manusia pada berbagai macam ruang alam seperti ceruk atau gua, celah-celah dinding batu hutan bukit, dan sebagainya. Sisa-sisa penguburan yang paling menonjol adalah tulang manusia.
Berdasarkan data jejak penguburan tersebut, diketahui ada beragam bentuk penguburan pada masa lampau di Papua, meliputi wilayah pegunungan tengah pedalaman pesisir dan pulau-pulau. Penguburan juga dilakukan pada celah dinding yang hanya ada di wilayah pesisir penguburan.
Berdasarkan data arkeologi dan etnohistoris penguburan di Papua, disimpulkan bahwa penguburan pada masyarakat Papua baik pesisir, pedalaman, dan pegunungan tengah sama-sama memanfaatkan gua atau ceruk sebagai tempat penguburan. Umumnya menggunakan dua bentuk penguburan, yaitu penguburan primer dan sekunder.
“Penguburan dengan wadah di wilayah pesisir tampak jelas ada pengaruh Austronesia, karena ada barang-barang yang disertakan. Cara di tanam dalam tanah ada penguburan dengan perabuan, dan juga ada penguburan dengan pemumian,” beber Erlin.
Kemudian, Sriwigati menyampaikan penguburan dengan penggunaan wadah kubur kayu yang dikenal bukan saja di daerah pengunungan, tetapi juga di daerah pesisir. Begitu pula dengan fungsi gua maupun ceruk yang ada di daerah Morowali, bukan saja difungsikan sebagai hunian pada masa prasejarah, tetapi berlanjut dan beralih fungsi menjadi tempat penguburan pada masa belakangan.
Kemudian penguburan dengan menggunakan soronga merupakan penguburan kedua yang disertai dengan bekal kubur.
Pada kesempatan ini, Gunadi mengungkapkan terkait sejarah Tiongkok pada masa prasejarah 2500 sebelum Masehi. Daratan Tiongkok Selatan, di lembah Sungai Kuning, merupakan satu perkampungan atau komunitas masyarakat yang telah maju.
Hal ini didukung kesuburan tanah, sehingga mereka hidup makmur dan telah menemukan teknologi pembuatan wadah dari tanah liat, dikenal dengan tembikar. Ini yang menjadi alasan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang ada di lembah Sungai Kuning, demikian hingga sampai arah selatan dan barat, bahkan menyebrangi Pulau Hainan dan Taiwan.
Data kubur budaya Austronesia dalam pemahaman ini menjadi penanda dan karakteristik tertentu untuk mencirikan tradisi Austronesia yang berkembang di Nusantara.
Kajian penguburan tradisi Austronesia ini masih memerlukan studi dan fokus yang lebih spesifik. Tidak salah jika dikatakan bahwa kajian Austronesia tidak hanya berkonteks pada masa kini, namun jauh sejak kedatangan ribuan tahun yang lalu di wilayah Nusantara.
Dalam sambutannya, Kepala Organisasi Riset Arkelologi, Bahasa, dan Sastra BRIN Herry Jogaswara mengatakan, webinar yang diselenggarakan secara konsisten ini signifikan dan sangat berpengaruh di Indonesia, sehingga diharapkan dapat menjadi sebuah studi.
“Para periset mulai melirik berbagai pendanaan riset internasional berkaitan dengan riset arkeologi,” jelasnya.
Untuk itu, dia berharap agar para periset bisa terlibat dalam project terkait preservasi yang ada di tempat terdekat. Mereka terus memberikan informasi dan pendekatan kepada lingkungan sekitarnya terkait kajian arkeologi, bahasa, dan sastra. (Sumber brin.go.id)