Jakarta, Technology-Indonesia.com – Indonesia memiliki dua Cagar Biosfer baru yang diakui oleh dunia. Cagar Biosfer Togean Tojo Una-Una di Sulawesi Tengah dan Cagar Biosfer Saleh-Moyo-Tambora (Samota) di Nusa Tenggara Barat resmi ditetapkan sebagai Cagar Biosfer ke-15 dan 16 dalam Sidang ke-31 International Co-ordinating Council of the Man and the Biosphere Programme (ICC-MAB) UNESCO Meeting di Head Quarter UNESCO, Paris, Prancis pada Rabu (19/6/2019).
Penetapan dua Cagar Biosfer tersebut melengkapi Cagar Biosfer yang telah ada sebelumnya yakni Cibodas, Komodo, Lore Lindu, Tanjung Putting, Gunung Leuser, Siberut, Giam Siak Kecil-Bukit Batu, Wakatobi, Bromo-Tengger-Semeru, Arjuno, Taka Bonerate-Kepulauan Selayar, Belambangan, Berbak-Sembilang, Batang Kerihun Danau Sentarum, serta Rinjani Lombok.
“Cagar Biosfer Togean Tojo Una-Una meliputi area seluas 2.187.632 hektar di jantung Segitiga Terumbu Karang yang mempunyai keanekaragaman karang tertinggi di dunia serta hutan bakau dan ekosistem pulau kecil,” terang Presiden ICC-MAB UNESCO, Enny Sudarmonowati yang juga merupakan Deputi Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Enny menjelaskan Togean Tojo Una-Una adalah rumah bagi 363 spesies tanaman, termasuk 33 spesies mangrove. “Juga habitat hewan seperti tarsius (Tarsius spectrum palengensis), monyet Togean (Macaca togeanus), serta babirusa, kuskus, duyung, paus dan lumba-lumba,” terangnya.
Sementara Cagar Biosfer Samota terletak diantara dua Cagar Biosfer yang sebelumnya ada yakni Pulau Komodo dan Rinjani Lombok. “Cagar Biosfer Samota meliputi area seluas 724.631,52 hektar yang terdiri dari lima ekosistem utama meliputi pulau-pulau kecil, kawasan pantai hutan bakau, pesisir, hutan dataran rendah dan pegunungan, serta sabana,” ujarnya.
Dirinya menjelaskan, daerah inti Cagar Biosfer Samota memainkan peran penting dalam melestarikan keanekaragaman hayati di kawasan itu. “Zona penyangga dan daerah transisinya memiliki potensi pertanian untuk produksi buah dan sayuran, serta padi, kopi dan kakao, dan peternakan.”
Enny menjelaskan, pengelolaan suatu Cagar Biosfer dibagi menjadi tiga zona yang saling berhubungan. “Pertama adalah area inti yang mencakup kawasan konservasi dengan luas yang memadai, mempunyai perlindungan hukum jangka panjang, untuk melestarikan keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya,” jelas Enny.
Sementara zona penyangga (buffer zone) adalah wilayah yang mengelilingi atau berdampingan dengan area inti dan teridentifikasi untuk melindungi area inti dari dampak negatif kegiatan manusia. “Sementara area transisi adalah wilayah terluar dan terluas yang mengelilingi zona penyangga tempat kegiatan-kegiatan pengalolaan sumberdaya alam secara lestari dan model-model pembangunan berkelanjutan dipromosikan dan dikembangkan.”
Keberadaan Cagar Biosfer sendiri adalah bagian program utama dari Man and the Biosphere (MAB) Programme UNESCO untuk menguji dan mengimplementasikan ide-ide inovatif pengembangan berkelanjutan yang didukung oleh penerapan ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi, good governance dan peran aktif para pihak dalam rangka pembangunan berkelanjutan.
Program MAB di Indonesia dimulai sejak 1972 setelah terbentuknya MAB Programme di UNESCO pada 1968. Secara struktural MAB Indonesia bernaung dibawah Kedeputiaan Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI dan dalam pelaksanaan programnya didukung oleh Program MAB Internasional UNESCO melalui kantor UNESCO Jakarta dan bekerjasama dengan Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.