TechnologyIndonesia.id – Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Antariksa, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaludin mengatakan bahwa keberadaan Observatorium Nasional (Obnas) di Timau, Nusa Tenggara Timur (NTT) dapat memberikan kontribusi sangat penting bagi perkembangan astronomi global.
Thomas menuturkan jumlah observatorium yang berada di belahan bumi selatan saat ini masih minim karena hanya ada di Afrika Selatan, Indonesia, Australia, dan Amerika Selatan.
Mayoritas observatorium berada di belahan bumi utara, yakni Amerika, Eropa, Jepang, dan China yang membuat riset astronomi global saat ini paling banyak tentang langit utara.
“Untuk mengamati langit selatan menjadi susah karena posisi bintang menjadi terlalu rendah. Karena itu perlu pengamatan di langit selatan untuk melihat objek-objek di langit selatan,” ungkap Thomas dalam program Dofida (Dialog, Obrolan, Fakta Ilmiah Populer dalam Sains Antariksa) pada Jumat (26/1/2024).
Perkembangan pengamatan langit Selatan bergantung dari observatorium – observatorium yang berada di belahan Selatan dan Indonesia.
Observatorium bisa mengamati belahan Utara dan belahan Selatan yang memberikan kontribusi sangat penting bagi perkembangan astronomi Global. Selama ini mungkin Amerika, Jepang, China belahan Utara dan banyak mengamati langit Utara.
“Untuk mengamati bahwa pengamatan sekarang bukan hanya saja harus di bawah, observatorium melalui antariksa sendiri untuk belahan bumi selatan untuk yang pengamatan dari antariksa itu sendiri dengan wahana antariksa tentu tidak melihat belahan Utara dan belahan Selatan, seluruh belahan langit bisa diamati,” ungkapnya.
“Indonesia berada pada posisi yang sangat penting karena daratan di belahan bumi selatan relatif sedikit dibandingkan daratan belahan bumi utara,” imbuhnya.
Teleskop Terbesar di Asia Tenggara
Pemerintah Indonesia melalui BRIN saat ini sedang membangun Observatorium Nasional (Obnas) Timau yang berlokasi di Gunung Timau, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Obnas Timau dilengkapi teleskop berukuran 3,8 meter yang menjadi teleskop terbesar di Asia Tenggara.
Thomas menjelaskan teleskop tersebut jauh lebih besar ketimbang teleskop yang saat ini dimiliki oleh Thailand berukuran 2,4 meter.
“Ukuran teleskop yang besar dapat mempertajam penglihatan terhadap benda-benda langit yang memiliki cahaya lebih redup. Saat ini BRIN menargetkan observatorium itu bisa diujicobakan pada pertengahan tahun 2024,” tegasnya.
Thomas berharap Obnas Timau bisa menggugah generasi muda dalam mempelajari astronomi dengan lebih menyenangkan. Menurutnya pelajaran fisika, matematika selama ini dianggap sulit tetapi dikaitkan dengan fenomena astronomi fisika dan matematika menjadi lebih menarik.
Selain untuk melihat bintang, galaksi yang jauh, Obnas ini dapat dimanfaatkan menjadi satu kajian terkait astronomi untuk masyarakat. Manfaat astronomi lainnya adalah pemantauan terkait dengan banjir rob dan hal-hal yang juga menjadi daya tarik bagi masyarakat, khususnya di daerah seperti di Timau dan sekitarnya.
Menurutnya, observatorium nasional ini diharapkan dapat memberikan pencerahan dan inspirasi khususnya bagi generasi muda bahwa astronomi banyak memberikan jawaban bagi fenomena yang ada di langit dan sekaligus juga menghilangkan yang seringkali dikaitkan dengan astronomi.
Observatorium ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi pencerahan kepada masyarakat memberikan inspirasi bagi generasi muda untuk mau mempelajari sains yang semula dianggap rumit, bisa juga menjadi hal yang sangat menarik.
“Astronomi itu berkomunikasi dan objek yang sangat jauh itu dengan bahasa universal bahasa gelombang elektromagnetik tetapi itu memerlukan interpretasi dari sains khususnya fisika dan matematika,” pungkas Profesor Riset Astronomi ini. (Sumber brin.go.id)