Jakarta, Technology-Indonesia.com – Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) melakukan penelitian terhadap media tanam untuk budidaya jamur konsumsi. Penelitian ini dilakukan untuk mencari alternatif media tanam (baglog) yang biasanya memanfaatkan limbah kayu sengon.
Dosen sekaligus peneliti Konversi di Laboratorium Biomaterial Fakultas Kehutanan UGM, Dr. Denny Irawati mengatakan biasanya media tanam jamur memakai limbah kayu sengon yang harganya mahal.
“Saat ini harga limbah kayu sengon naik hampir 5 kali lipat dan jumlahnya pun semakin terbatas sehingga kami berupaya mencari alternatif lain, membuat media tanam baru dengan memanfaatkan limbah kayu dari penebangan langsung di masyarakat,” papar Denny pada Selasa (11/7/2023) saat disela-sela peresmian Unit Penelitian dan Pengembangan Jamur Konsumsi (UP2JK) UGM.
Denny mengatakan bahwa saat ini ada lebih dari 4 ribu jenis kayu yang tumbuh di Indonesia. Hanya saja, kebanyakan petani jamur masih percaya jika hanya kayu sengon yang bisa dipakai sebagai media budidaya jamur.
“Dari penelitian sebelumnya yang kami lakukan di Fakultas Kehutanan UGM, memang tidak semua jenis kayu bisa dipakai sebagai media budidaya jamur. Namun begitu, bukan berarti hanya jenis kayu sengon saja yang bisa digunakan sebagai media tanam,” terangnya.
Melalui Unit Penelitian dan Pengembangan Jamur Konsumsi, UGM mengembangkan beragam jenis kayu yang dapat digunakan sebagai media tanam budidaya jamur.
Penelitian dan pengembangan media tanam jamur dilakukan melalui kerja sama antara UGM dan Nagoya University, Jepang dengan dukungan dana dari Japan International Cooperation Agency (JICA) serta melibatkan peneliti dari Gifu Forestry Research Institute yang berlangsung sejak Oktober 2021 hingga September 2024.
Denny menyebutkan penelitian dan pengembangan alternatif media tanam pengganti dengan menggunakan cabang maupun ranting pohon dari berbagai jenis pohon. Saat ini pihaknya tengah melakukan penelitian dengan memakai kurang lebih 10 jenis limbah kayu.
Beberapa diantaranya adalah jati, mahoni, akasia, dan mangga. Dari penelitian tersebut diketahui jamur dapat tumbuh pada limbah kayu tersebut dengan proses pertumbuhan yang berbeda-beda di setiap media tanaman yang berbeda.
“Tentu saja berbagai jenis kayu ini dengan karakteristik yang berbeda disetiap jenisnya memerlukan perlakuan khusus yang berbeda. Hasil pengembangan dari UP2JK akan didiseminasikan secara luas kepada para
petani,” ucapnya.
Sementara Dekan Fakultas Kehutanan UGM, dr. Sigit Sunarta menyebutkan penelitian pengembangan alternatif media tanam jamur ini dilakukan sebagai bagian dari kontribusi Fakultas Kehutanan dalam membantu mengatasi persoalan pangan nasional. Salah satunya, dalam penyediaan pangan melalui diversifikasi pangan dengan jamur konsumsi.
“Perubahan iklim berdampak pada banyak aspek termasuk pertanian dan kehutanan yang menjadikan gagal panen sehingga perlu mitigasi penyediaan pangan dan diversifikasi pangan. Pengenalan dan intensifikasi pengembangan produksi jamur konsumsi salah satunya,” paparnya.
Ia mengatakan penelitian terhadap jamur juga perlu dilakukan mengingat kebutuhan nasional akan jamur yang terus meningkat.
“Kalau dulu jamur lebih banyak diekspor, tetapi sekarang konsumsi jamur nasional meningkat karena masyarakat Indonesia gemar makan jamur. Kami sebagai peneliti kehutanan meneliti limbah kayu jenis lain, tidak hanya sengon, sebgaai alternatif media tanam jamur,” ujarnya.
Melalui UP2JK ini, Sigit berharap sivitas akademika UGM bisa melakukan penelitian dan mengembangkan media tanam jamur alternatif pengganti kayu sengon yang nantinya dapat diimplementasikan di masyarakat. Selain itu, juga bisa dikembangkan beragam jenis jamur yang juga bisa dibudidayakan oleh masyarakat.
“Hasil-hasil penelitian nantinya akan disampaikan ke masyarakat. Dengan begitu diharapkan dapat membantu dalam budidaya jamur sehingga meningkatan kesejahteraan mereka,” pungkasnya.