Cibinong, Technology-Indonesia.com – Inovasi produk dan teknologi menjadi kunci utama dalam meningkatkan daya saing UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah). UMKM yang mampu mengadopsi teknologi atau melakukan inovasi produk dengan tepat akan lebih mampu bersaing di pasar yang semakin ketat.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebagai lembaga riset pemerintah yang terintegrasi, berusaha semaksimal mungkin untuk berkontribusi dengan melakukan berbagai kegiatan yang dapat memberikan solusi bagi permasalahan UMKM terutama dalam peningkatan kualitas dan produktivitas produk halal.
Deputi Bidang Pemanfaatan Riset dan Inovasi, R. Hendrian melalui sambutan yang dibacakan oleh Aswin Firmansyah Koordinator Pemanfaatan Riset dan Inovasi untuk UMKM menyampaikan hal tersebut dalam Coaching Clinic Pengembangan Produk Halal Melalui Penerapan Teknologi Pengemasan dan Pengawetan Makanan di Cibinong pada Selasa (20/6/2023). Coaching clinic ini digelar oleh BRIN bersama Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS).
Dirinya menyampaikan bahwa jumlah UMKM di Indonesia tercatat sebanyak 65,46 juta, berkontribusi sebesar 60,3% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) dan mampu menyerap 97% tenaga kerja di Indonesia. Sementara, jumlah penduduk muslim Indonesia mencapai 237 juta jiwa atau 11,92% dari total populasi muslim di seluruh dunia.
Tingginya populasi muslim tersebut diikuti dengan tingginya permintaan terhadap produk-produk halal yang terus meningkat setiap tahunnya yaitu US$ 2 triliun tahun 2021. Permintaan ini diperkirakan akan terus meningkat mencapai US$ 2,8 triliun tahun 2025.
“Hal ini memperlihatkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi yang menjanjikan dalam pengembangan produk barang maupun jasa berbasis jaminan halal sebagai salah satu roda penggerak dan sumber pertumbuhan baru bagi perekonomian,” tuturnya.
Saat ini BRIN telah cukup banyak menghasilkan inovasi dan riset terkait industri halal, utamanya terkait dengan riset terapan yang memiliki dampak positif untuk mendukung pengembangan sektor industri halal nasional.
Hendrian mencontohkan, BRIN terus berupaya menciptakan inovasi-inovasi yang mendukung pengembangan produk makanan dan minuman halal, antara lain metode pengemasan bahan makanan heterogen dalam satu wadah yang mampu memperpanjang masa simpan, alat/metode deteksi halal yang dapat digunakan untuk daging giling atau daging olahan, alat deteksi alkohol dan zat aditif berbahaya pada makanan, dan masih banyak lagi hasil-hasil inovasi yang telah dihasilkan BRIN.
“Selain dukungan riset dan produk inovasi, BRIN juga menyediakan dukungan infrastruktur seperti pengembangan laboratorium halal dan pembangunan rumah produksi halal bersama untuk UMKM,” imbuhnya.
Direktur Pemanfaatan Riset dan Inovasi pada Kementerian/Lembaga, Masyarakat dan UMKM, Dadan Nugraha dalam laporan yang dibacakan Analis Kebijakan Ahli Muda, Nurul Falah menyampaikan kegiatan coaching clinic ini merupakan tindak lanjut dari kegiatan Halal Tech Expo dan Forum Tahun 2022, yang bekerjasama dengan KNEKS.
“Coaching clinic ini merupakan salah satu upaya BRIN untuk menjawab permasalahan umum yang dihadapi usaha mikro yaitu belum memahami teknologi pengemasan yang tepat untuk mempertahankan kualitas makanan dan belum memahami teknologi pengawetan makanan untuk memperpanjang umur simpan,” terangnya.
Kegiatan coaching clinic akan dilaksanakan selama dua hari pada 20-21 Juni 2023 dengan peserta 38 pelaku usaha mikro yang telah mengikuti kegiatan Halal Tech Expo dan Forum Tahun 2022.
Kegiatan ini menghadirkan periset dari Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan (PRTPP) mengenai teknologi pengemasan dan pengawetan makanan. Pelaku usaha mikro juga akan mengikuti kegiatan demo produk dan mengunjungi PT Okwilfood untuk mempelajari teknologi pengalengan.
Paparan mengenai teknologi pengemasan makanan
Dadan berharap hasil diskusi dengan para periset BRIN dapat menambah pengetahuan para pelaku usaha mikro, serta menghasilkan saran dan masukan yang konstruktif bagi BRIN sebagai penghasil riset dan inovasi.
Deputi Direktur Kemitraan dan Akselerasi Usaha Syariah KNEKS, Achmad Iqbal berpesan kepada para pelaku usaha yang telah difasilitasi agar mempelajari informasi sebanyak-banyaknya dari periset BRIN sehingga dapat diketahui dengan pasti kesesuaian teknologi yang tersedia dengan kebutuhan para pelaku usaha.
“Kejujuran itu yang penting, jadi tidak harus khawatir bahwa teknik produksinya salah atau segala macam. Itu bagian dari proses belajar Bapak dan Ibu agar menjadi lebih baik,” pesan Achmad Iqbal.
“Mumpung ada perisetnya kita coba untuk mengeset ulang bagaimana cara produksi, manajemen produksi, dan tidak melulu ujung-ujungnya perlu teknologi. Kadang-kadang ada hal-hal sederhana yang bisa kita tempuh tanpa harus berinvestasi pada peralatan dan teknologi yang mahal,” imbuhnya.
Achmad Iqbal berharap coaching clinic ini bisa mendorong produktivitas, nilai tambah dan daya saing produk berbasis riset dan inovasi bagi pelaku UMKM.
“Mudah-mudahan setelah kegiatan ini akan terjalin kerjasama antara pelaku UMKM dan BRIN untuk menjajaki lebih lanjut mekanisme implementasi dari inovasi dan teknologi yang dipilih,” tuturnya.
Fasilitasi Usaha Mikro Berbasis Iptek
Koordinator Pemanfaatan Riset dan Inovasi untuk UMKM, Aswin Firmansyah menjelaskan bahwa kegiatan coaching clinic ini merupakan bagian dari program Fasilitasi Usaha Mikro Berbasis Iptek (FUMI) yang dikembangkan oleh Direktorat Pemanfaatan Riset dan Inovasi pada Kementerian/Lembaga, Masyarakat dan UMKM, Deputi Pemanfaatan Riset dan Inovasi BRIN.
“Program FUMI menjadi sarana bagi BRIN untuk menyampaikan hasil riset dan inovasi kepada para pengguna, terutama pelaku usaha mikro,” terang Aswin di sela acara coaching clinic.
Koordinator Pemanfaatan Riset dan Inovasi untuk UMKM, Aswin Firmansyah
Berdasarkan data statistik, jumlah pelaku UMKM di Indonesia tercatat sebanyak 65,46 juta, berkontribusi sebesar 60,3% terhadap PDB dan mampu menyerap 97% tenaga kerja di Indonesia.
“Dari hasil survei kami, 17 persen dari UMKM itu membutuhkan sentuhan teknologi selain dana. Sentuhan teknologi itu untuk meningkatkan kualitas mutu dan produktivitas,” tuturnya.
Sentuhan teknologi ini bisa digunakan untuk mengatasi permasalahan seperti memperpanjang daya tahan produk dari tiga bulan menjadi enam bulan atau mengubah produk yang tadinya kusam menjadi lebih menarik.
“Kadang-kadang solusi teknologinya sederhana misalnya cukup dipanaskan 70 derajat karena kalau lebih dari 70 derajat ada zat yang akan terurai. Itu permasalahannya, tapi pelaku usaha mikro tidak punya kompetensi dan dana untuk melakukan uji coba. FUMI menjembatani ini dengan menyasar para pelaku usaha mikro. Ini lho riset dan inovasi yang bisa menjadi solusi bagi mereka,” terang Aswin.
Pendampingan program FUMI, lanjutnya, dilakukan dalam dua bentuk yaitu pendampingan secara personal dan coaching clinic untuk masyarakat luas. Pendampingan secara personal dilakukan untuk memberikan pendampingan permasalahan yang lebih spesifik dan mendalam.
Aswin mencontohkan, bagaimana menghilangkan endapan atau rasa pahit pada produk minuman jeruk. Permasalahan ini membutuhkan penelitian lebih mendalam dan pendampingan secara personal.
“Tapi ada yang cukup pengenalan-pengenalan teknologi sederhana untuk mereka menerapkan disampaikan ke masyarakat luas dalam bentuk coaching. Misalnya hampir semua usaha makanan dan minuman memiliki masalah terkait pengemasan dan pengawetan. Kita coba kenalkan teknologinya melalui coaching, lingkupnya tidak sedalam yang personal tadi,” terangnya.
Aswin menyampaikan, program FUMI ini sudah dimulai sejak tahun 2021. Pada 2022, BRIN sudah melakukan pendampingan pada 76 pelaku usaha mikro. Untuk tahun 2023, pihaknya diberi target sekitar 250 pelaku usaha mikro.
Pelaku usaha mikro yang ingin mengikuti program FUMI bisa membuat usulan dengan format sederhana mengenai permasalahan yang dihadapinya. Sementara untuk coaching, dilakukan dalam bentuk kemitraan dengan pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan kementerian/lembaga lainnya.
“Untuk coaching persyaratannya mereka memiliki permasalahan yang sama dan sulit kalau tidak ada yang mengkoordinir, jadi harus ada suatu entitas atau lembaga pemerintah atau swasta yang mengkoordinir,” imbuhnya.
Bagi pelaku usaha yang mendapatkan pendampingan FUMI, akan dilakukan monitoring pada tahun berikutnya. Monitoring dilakukan untuk mengetahui apakah solusi teknologi yang disampaikan BRIN diterapkan oleh pelaku usaha. “Jika tidak alasannya apa, kalau diterapkan apakah ada dampak terkait revenue, profit dan sebagainya,” terangnya.
Aswin menyampaikan bahwa permasalahan yang dihadapi pelaku usaha mikro saat menerapkan teknologi yaitu kebutuhan alat atau bahan tertentu yang biayanya tidak murah. Sementara, program FUMI belum bisa memfasilitasi pemodalan dan alat mesin.
“Karena itu kami mencoba menggandeng mitra lain, misalnya pelaku usaha mikro produk jamu di Yogyakarta bekerjasama dengan Bank Indonesia yang punya skema-skema tertentu untuk pemberdayaan UMKM. Model seperti itu yang coba kami bangun agar pendampingan kemitraan ini bisa tuntas dan tidak setengah-setengah,” tutur Aswin.
Ia berharap agar UMKM yang sudah mendapatkan pendampingan FUMI bisa menularkan ke lingkungan sekitarnya agar para pelaku usaha mikro bisa kompetitif produknya. Sementara bagi pelaku usaha mikro yang memiliki permasalahan yang membutuhkan sentuhan teknologi bisa mendaftar di program FUMI.
Harapan Pelaku Usaha Mikro
Sebanyak 38 pelaku usaha mikro dari berbagai wilayah di Indonesia antusias mengikuti coaching clinic ini. Mereka menyimak paparan yang disampaikan oleh dua peneliti dari Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan (PRTPP) BRIN.
Pada sesi pertama, Nugroho Siswanto secara detail menyampaikan tentang teknologi pengemasan mulai dari bahan baku mentah hingga produk akhir. Sedangkan sesi kedua fokus membahas skema teknologi pengawetan yang disampaikan oleh Lulu Eki Daysita.
Salah satu pelaku usaha mikro, Eka Agus Sulistyaningsih dari Dapoer Intan yang berlokasi Tangerang yang mengaku sangat membutuhkan teknik pengemasan dan teknik pengawetan agar produknya bisa tahan lama dan aman untuk dikonsumsi.
Eka Agus Sulistyaningsih pemilik Dapoer Intan
Sebelumnya, Eka belajar pengemasan makanan dari temannya kemudian mencoba sendiri, dan sempat beberapa kali mengalami kegagalan.
“Di sini saya baru tahu ternyata ada step-stepnya. Ternyata ada beberapa hal yang ter-skip karena saya tidak tahu ilmu dasarnya, hanya berdasarkan informasi dan pengalaman teman. Kalau yang diajarkan di sini berdasarkan ilmu dan teori,” imbuh Eka.
Produk Dapoer Intan yang dirintis Eka sejak 2016, diantaranya pepes bandeng duri lunak, bandeng presto dan olahan ayam. Produk bandeng presto dari Dapoer Intan bisa tahan pada suhu luar selama empat hari. Dengan mengikuti coaching clinic ini, Eka berharap produknya bisa tahan satu tahun.
“Saya sudah ditantang, kalau bisa tahan satu tahun di suhu luar, Insya Allah ada market kita di Saudi Arabia yang mau memasarkan di sana,” ujarnya.
Sejak 2018, Eka mencoba pasar di Saudi Arabia dengan menitip di beberapa toko. Namun toko-toko yang dititipi produk Dapoer Intan terbatas hanya toko yang mempunyai pendingin. Selain itu, untuk menembus pasar ekspor ada beberapa hal yang harus disiapkan, misalnya untuk satu kontainer membutuhkan pendingin yang besar.
“Kalau produk Dapoer Intan ini bisa tahan satu tahun di suhu luar tanpa freezer, maka nilai ekonominya akan sangat tinggi. Ini kesempatan yang luar biasa karena saya bisa bicara langsung dengan peneliti yang tahu ilmu dan step-stepnya,” ujar Eka yang memiliki memiliki latar pendidikan bidang farmasi.
Saat ini, kapasitas produksi di Dapoer Intan sekitar 1 ton/bulan yang dikerjakan Eka bersama 6 karyawan. Kapasitas tersebut menurut Eka masih bisa ditingkatkan. Setelah mengetahui ilmu pengemasan dan pengawetan makanan, Eka akan mempraktekkan pada produk buatannya agar bisa awet, tahan lama, aman dikonsumsi, dan pemasarannya lebih luas.